Minggu, 31 Maret 2013

kenapa takut Bid'ah ?

HUKUM ISLAM ADA 5, DAN BID'AH TIDAK TERMASUK DI DALAMNYA
Bid’ah Itu Bukan Status Hukum

Hendaknya kita tahu bahwa sunnah menurut ulama hadits adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (ketetapan). Menurut Fuqaha’ (ahli Fiqh), sunnah adalah salah satu dari status hukum Islam, yang apabila mengerjakannya mendapat pahala dan apabila meninggalkanya tidak apa-apa (tidak berdosa), kadang disebut mandub juga nafilah.

Hukum Islam sendiri adalah 5 : Wajib, Sunnah (Mandzub/Mustahab), Mubah (Jaiz), Makruh dan Haram.

Sunnah Rasulullah (perbuatan, perkataan, taqrir) tidak serta status hukumnya menjadi wajib, tetapi ada yang sunnah (mandub/mustahab) tergantung bentuk anjurannya dan konsekuensinya. InsyaAllah kalian paham, bahwa apa yang berasal dari Rasul tidak serta merta wajib bagi kalian.

Demikian juga apa yang dinamakan bid’ah, bid’ah bukanlah status hukum Islam (sekali lagi bid’ah bukan status hukum Islam), melainkan istilah untuk sesuatu yang berlawan dengan sunnah.

Kalau Sunnah adalah perkataan/perbuatan yang berasal dari Rasul, sedangkan
Kalau Bid’ah adalah perkataan/perbuatan yang bukan berasal dari Rasul.

Dari sini, semoga paham maksud dari istilah “berlawanan”. Maka, sesuatu yang bukan berasal dari Rasul ini, haruslah di tinjau dan dikaji apakah sesuai dengan Sunnah ataukah tidak. Bukan serta merta ditolak begitu saja kemudian di masukkan kepada salah satu status hukum Islam yaitu status haram.

Jika langsung dimasukkan kepada status hukum haram, nantinya akan absurd dalam memahaminya dan bingung terus-menerus seperti sebagian orang jahil. Karena kalau langsung dimasukkan kepada status hukum haram dan sisi lain mengatakan “berlawan dengan sunnah” maka jadinya seperti ini :

“Bid’ah (Haram)” VS “Sunnah (Wajib)”. Karena lawan dari haram adalah wajib, dan pemahaman seperti ini bak otak yang terbalik. Sedangkan apa yang berasal dari Rasul (perbuatan/perkataan/taqir) tidak selalu dimasukkan kedalam status hukum wajib.

Oleh karena itu, sesuatu perkara baru (bid’ah) atau lawan dari yang berasal dari Rasul (sunnah) harus diklasifikasikan status hukumnya.

Yang mana nantinya ada yang masuk pada status hukum wajib, mandub, mubah, makruh dan haram. Istilah seperti ini telah diajarkan oleh al-Imam Shulthanul Ulama Syaikh ‘Izzuddin Abdissalam asy-Syafi’i untuk menyederhanakan memahami bid’ah. Sehingga dikenal istilah ;

1. Bid’ah Wajibah : bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum wajib, seperti : menyibukkan diri dengan ilmu nahwu sebab dengannya bisa memahami Kalamullah dan Sabda Nabi, hal ini tergolong wajib karena dalam rangka menjaga syariat Islam, sebab apa jadinya jika tidak paham nahwu, maka orang-orang jahil akan berbicara secara serampangan.

Contohnya lainya seperti : menjaga pembendaharaan kata asing al-Qur’an dan as-Sunnah, pembukuan disiplin ilmu-ilmu ushul, perkataan jahr wa ta’dil dalam pembahasan ilmu hadits.

2. Bid’ah Mandubah ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum sunnah/mandub, seperti : membangun madrasah-madrasah, perkataan-perkataan yang mengandung hikmah seperti tashawuf, perkataan yang bisa menyatukan kaum Muslimin, shalat jama’ah tarawih, Maulid Nabi dan sebagainya.

3. Bid’ah Mubahah ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum mubah, seperti : bersalaman setelah shalat subuh dan ashar, juga memperluas kesenangan dalam urusan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.

4. Bid’ah Makruhah ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum makruh, seperti : sekedar kumpul-kumpul di kediaman orang meninggal, menghiasi masjid dengan berlebihan dan lain sebagainya

5. Bid’ah Muharramah ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum haram, seperti : pemikiran Qadariyah, jabariyah, murji’ah, mujassimah (contohnya : Wahabiyah, Karramiyah dan sejenisnya)

Jika perkara baru tersebut sesuai dengan sunnah maka itu baik (hasanah) dan status hukumnya bisa jadi sunnah, bahkan hingga wajib.

Namun, jika sesuatu perkara baru bertentangan dengan sunnah maka itu buruk (qabihah) dan status hukumnya bisa jatuh pada status hukum makruh bahkan haram.

Semoga dengan pemaparan singkat ini dapat memberikan pemahaman yang benar dalam memahami bid’ah dan sunnah.

DAN SEKALI LAGI BID’AH ITU BUKAN STATUS HUKUM, INGAT INI !!!.

Bahkan ada sesuatu yang dibenci tapi halal, yaitu thalaq (perceraian). Sangat tidak mungkin kalau karena disebabkan dibenci kemudian langsung dimasukkan kedalam status hukum haram. Jadi pemahaman-pemahaman seperti ini atau sejenisnya adalah benar-benar absurd.

Wallahu A'lam.

Senin, 21 Januari 2013

PEringatan maulid Menurut para sahabat

Sejarah MauliduRrosulalloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam pada priode awal, Khulafairrosyidin. 
Perayaan Maulidurrosulalloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam yang paling awal dan dilakukan secara Beramai-ramai bisa ditemukan dalam Kitab Rihal, karangan Ibnu Jubayr (540-614), didalam bab Perjalanan (ms.114-115) merupakan sumber yang terawal yang menceritakan mengenai sambutan Maulidurrosulallohu Sholallohu 'Alaihi Wasallam secara beramai-ramai didalam suatu kelompok masyarakat. 

Tempat yang diberkati ini (rumah kelahiran Nabi Sholallohu 'Alaihi Wasallam ) dibuka dan setiap lelaki dibenarkan untuk memasukinya untuk mendapat barakah daripadanya (mutabarrikin bihi) pada setiap hari Isnin didalam bulan Rabi'al al-Awwal kerana pada hari dan bulan terssebut, Nabi telah dilahirkan." 

Rumah Kelahiran Nabi Sholallohu 'Alaihi Wasallam. 
Ahli sejarah abad ke-7 hijrah, Abul 'Abbas al-'Azafi dan anaknya Abul Qosim al-'Azafi telah menulis didalam kitab, ad-Durr al-Munazzam (tidak pernah diterbitkan).

Mereka yang menunaikan 'ibadah haji dan mereka yang sedang melakukan pengembaraan menyaksikan bahawa tiada jual-beli ataupun sebarang perbuatan lain dilakukan pada hari Maulidurrosulalloh di Makkah, melainkan mereka berbondong-bondong memenuhi tempat kelahiran Nabi yang diberkahi. Pada hari itu juga, Ka'bah dibuka dan orang ramai dibenarkan untuk menziarahinya.

Sejarah perayaan Maulidurrosulalloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam. Makkah, merupakan Ibu kepada semua Kota (semoga Allah merohmati dan memuliakannya), merupakan penghulu bagi lain-lain kota diseluruh negara Islam didalam meraikan Maulidurrosulalloh.
Al-Azraqi, seorang ahli sejarah Makkah pada abad ke 3 - hijrah, telah menulis didalam kitabnya, Akhbar Makkah (Jilid 2,ms160) tempat-tempat yang digalakkan (mustahabb) untuk menunaikan sholat di Makkah antaranya ialah rumah tempat Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wasallam dilahirkan.
(Maulid al-Nabi). 

Menurut beliau, rumah tersebut telah dijadikan masjid oleh ibu kepada Khalifah Musa al-Hadi dan Harun ar-Roshid. 

Al-Naqqash, seorang 'ulama didalam bidang al-Quran mengatakan bahawa tempat kelahiran Nabi merupakan tempat dimana do'a diterima pada waktu tengahari setiap hari Isnin. 
(Pendapat beliau ini tercatat didalam kitab al-Fasi, Shifa' al-ghorom Jilid 1, ms 199).

Pendapat Maulid Para Khulafaiirosyidin.

1). Sayyidina Ali bin Abi Tholib Karomallahu wajhah, 
lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Romadlon 40 Hijriah/661, adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, Beliau adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Beliau juga sepupu dari Nabi Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahro, ia menjadi menantu Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam. 

Pendapatnya tentang Maulid NAbi : Telah berkata Sayyidina ‘Ali : Siapa yang membesarkan majlis maulid Nabi sholallohu 'alaihi wasallam. dan karenanya diadakan majlis membaca maulid, maka dia tidak akan keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan masuk ke dalam syurga tanpa hisab. 
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafi'i) 

2). Sayyidina Utsman bin ‘Affan Dzun-Nuraini 
Utsman bin Affan 574 – 656 / 12 Dzulhijjah 35 H; umur 81–82 tahun, Beliau adalah shohabat Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wasallam yang termasuk KholafairRasyidin yang ke-3. Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi sangatlah dermawan, Beliau juga berjasa dalam hal membukukan Al-Qur'an. Beliau adalah khalifah ketiga yang memerintah dari tahun 644 (umur 69–70 tahun) hingga 656 selama 11–12 tahun). Selain itu sahabat nabi yang satu ini memiliki sifat yang sangat pemalu. 

Sayyidina Utsman bin Affan adalah shohabat Nabi dan juga khalifah ketiga dalam KholafairRasyidin.
Ia dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonomi yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Sayyidina Utsman bin Affan telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rosulalloh Sholallohu 'alaihi wasallam yaitu Siti Ruqoyah dan Siti Ummu Kultsum. 

Pendapatnya tentang Maulid NAbi : Telah berkata Sayyidina Utsman: Siapa yang menafkahkan satu dirham untuk majlis membaca maulid Nabi sholallohu 'alaihi wasallam. maka seolah-olah ia menyaksikan peperangan Badar dan Hunain. 
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 

3). Sayyidina Umar bin Khottob al-Furqon 
Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza atau lebih dikenal dengan Umar bin Khattab (581 - November 644) adalah salah seorang shohabat Nabi Muhammad yang juga adalah khalifah kedua Islam (634-644). Sayyidina Umar juga merupakan satu diantara empat orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang diberi petunjuk dan Gelar (Kholafair Rosyidin).

Sayyidina Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu. Ayahnya bernama Khottob bin Nufail Al-Shimh Al-Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Sayyidina Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Nabi Muhammad yaitu Al-Faruk yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. 

Keluarga Sayyidina Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis, yang pada masa itu merupakan sesuatu yang langka.
Sayyidina Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah. 

Pendapatnya tentang Maulid NAbi : Telah berkata Sayyidina‘Umar: Siapa yang membesarkan (memuliakan) majlis maulid Nabi sholallohu 'alaihi wasallam maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam. 
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafi'i) 

4). Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq 
Abu Bakar lahir: 572 - wafat: 23 Agustus 634/21 Jumadil Akhir 13 H, termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar menjadi khalifah Islam yang pertama pada tahun 632 hingga tahun 634 M. Lahir dengan nama Abdullah bin Abi Quhafah. 

Beliau adalah satu diantara empat khalifah yang diberi gelar KholafairRasyidin atau khalifah yang diberi petunjuk. 

Sayyidina Abu Bakar Ash-Shidiq Nama lengkapnya adalah 'Abdi Allah ibn 'Utsman bin Amir bi Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murroh bin Ka'ab bin Lu'ay bin Gholib bin Fihr al-Quraishi at-Tamimi'. Bertemu nasabnya dengan nabi Sholallohu 'Aalaihi Wasallam pada kakeknya ibn Murroh bin Ka'ab bin Lu'ai. Dan ibu dari abu Bakar adalah Ummu al-Khoir salma binti Shakhr bin Amir bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya sama-sama dari kabilah bani Taim. 

Sayyidina Abu Bakar adalah ayah dari 'Aisyah istri Nabi Muhammad Saw. Nama yang sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Muhammad menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Nabi Muhammad memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya 'yang berkata benar') setelah Abu Bakar membenarkan peristiwa Isra Miraj yang diceritakan oleh Muhammad kepada para pengikutnya, sehingga ia lebih dikenal dengan nama "Abu Bakar ash-Shiddiq". 

Pendapatnya tentang Maulid NAbi : Telah berkata Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq: Barangsiapa yang menafkahkan satu dirham bagi menggalakkan bacaan Maulid Nabi saw., maka ia akan menjadi temanku di dalam syurga. 
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

Jumat, 18 Januari 2013

Apakah YEsus Tuhan ?

TIDAK ADA BUKTI YG RASIONAL BAHWA YESUS ITU TUHAN
DOGMA gereja mengatakan yesus itu tuhan hanya berdasarkan asumsi2 dari ayat ambigu yang tidak bisa dimaknai literal, bahkan lebih banyak lagi ayat2 lain dlm alkitab yg dengan tegas mengatakan Yesus itu hanya Nabi untuk bani Israel dan bertuhan satu. Jadi siapa yang dianggap Tuhan oleh orang kristen selama ini, kasihan bener deh.....jangan-jangan iblis.

QS. 21:24-25. Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah (hai Muhammad): "Unjukkanlah hujahmu! (Al Qur'an) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan orang-orang yang sebelumku". Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling. Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".] 

[QS. 5:68. Katakanlah: "Hai Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen), kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan apa (Al Qur'an) yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka (Ahli Kitab); maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.] 

1. BUKTI YANG TIDAK MEMADAI. 
Yesus lahir dalam keadaan suci. Orang Kristen sering menyebut berbagai keajaiban yang ditunjukkannya sebagai bukti ketuhanannya. Jelas, dasar pemikiran ini lemah. Di dalam Alkitab dikisahkan penciptaan Adam tanpa ayah dan ibu (Kejadian 2), juga tentang mukjizat Nabi Elisa (2 Raja-raja 4,5,6). Bahkan, Alkitab sendiri menjelaskan bahwa Melkisedek, raja Salem, adalah seorang imam yang tidak berbapak, tidak beribu, tidak bersilsilah, tidak berawal, dan tidak berakhir, karena ia sama dengan anak Allah (Kejadian 14:18; Ibrani 7:3). Meskipun ketiga pribadi tersebut secara umum memiliki kualifikasi yang sama dengan Yesus, tidak ada seorang Kristen pun yang menuhankannya. 

Di dalam teks Alkitab, Yesus menggunakan istilah "anak manusia", "anak Allah", "mesias", dan "saviour" (juru selamat), namun istilah2 tersebut juga digunakan untuk merujuk kepada orang2 selain Yesus. Misalnya, Yehezkiel disebut sebagai "anak manusia" (Yehezkiel 3:1). Selain itu, Yesus menyebut para pembawa kedamaian sebagai "anak-anak Allah" (Matius 5:9). Sikap mendua para penerjemah Alkitab terlihat dengan diterjemahkannya kata "mesias" yang tidak menunjuk kepada Yesus sebagai "orang yang Kuurapi". Misalnya, Koresy, raja Persia, diterjemahkan sebagai "orang yang Kuurapi" (Yesaya 45:1), padahal kata asli Ibraninya adalah "mesias". Lihat juga Mazmur 2:2, dimana "mesias" yang menunjuk kepada Daud diterjemahkan sebagai "yang diurapi-Nya", padahal kata asli Ibraninya adalah "mesias". Sementara itu, ayat2 yang menunjuk kepada Yesus mereka terjemahkan dengan "mesias" atau padanan kata Yunani "kristus". Dengan cara ini, mereka berusaha memberikan kesan bahwa hanya ada satu Mesias. Untuk orang selain Yesus, mereka menggunakan kata "penolong" (2 Raja-raja 13:5), tetapi untuk ayat2 yang menunjuk Yesus, mereka terjemahkan sebagai "juru selamat", padahal sama2 mengemban misi "saviour".

Persekongkolan dalam aktivitas penerjemahan modern dapat ditunjukkan dengan mudah. Alkitab King James 1611 tersebar secara luas. Bandingkan Alkitab tersebut dengan versi terjemahan yang lebih akhir, misalnya New American Bible. Pada Alkitab yang pertama, di dalam 2 Raja-raja 13:5 kita dapatkan kata "saviour", sedangkan pada New American Bible, kata itu diganti dengan sinonimnya, "deliverer". 

Jelasnya, menurut Alkitab sendiri, "JURU SELAMAT" itu tidak hanya menunjuk kepada Yesus maupun Tuhan (Yesaya 43:3), tetapi juga menunjuk kepada orang2 lain selain Yesus, hanya saja mereka menerjemahkannya secara tidak fair (2 Raja-raja 13:5, Nehemia 9:27 dan Obaja 1:21, saviours, bentuk jamak). 

Ada pernyataan lain yang dapat disebutkan di sini. Dalam Yohanes 8:58 dikatakan, "...sebelum Abraham jadi, Aku telah ada." Seandainya Yesus bermaksud mengklaim bahwa ia telah hidup sebelum Abraham, apakah itu merupakan alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa ia adalah Tuhan? Orang Kristen mungkin tidak mengira bahwa Nabi Yeremia juga telah mengalami kehidupan sebelum manusia (Yeremia 1:5). Seharusnya, mereka menafsirkan pernyataan di dalam Yeremia tersebut dengan cara yang sama ketika mereka menafsirkan Yohanes 8:58, yaitu secara harfiah. Namun, mengapa mereka tidak menerapkan pemahaman yang sama? 

2. BUKTI YANG MENDUA. 
Di dalam Yohanes 14:10 Yesus berkata, "...Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku..." dan di dalam Yohanes 10:30 Yesus mengatakan, "Aku dan Bapa adalah satu." Bahasa Yunani menerjemahkan "satu" dengan "hen". Beberapa sarjana menegaskan bahwa satu2nya pemahaman yang mungkin dari kata tersebut adalah "satu dalam esensi atau wujud". Namun, kedua pernyataan itu tidak berdasar, satu contoh untuk membantahnya sudah cukup. Kata2 yang sama dipakai oleh Yesus di dalam Yohanes 17:11,21,22,23 menunjukkan bahwa Yesus dan murid2nya berada di dalam satu kesatuan. Dengan demikian, kedua pernyataan yang dinisbahkan penulisnya ke dalam mulut Yesus di atas belumlah cukup untuk menunjukkan ketuhanan Yesus.

Kalimat lain yang sering dikemukakan oleh kalangan Kristen adalah apa yang dikatakan sebagai pernyataan Yesus di dalam Yohanes 3:16, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal..." Orang Kristen mengatakan bahwa kata "tunggal" dalam ayat itu secara khusus mengacu kepada Yesus, bukan "anak-anak Allah" yang lain. Ini juga menunjukkan sikap mereka yang tidak konsisten, sebab dalam Keluaran 4:22 dikatakan bahwa Israel adalah anak sulung Allah, dan dalam Yeremia 31:9 dikatakan bahwa Efraim adalah anak sulung Allah. Jadi, bagaimana mungkin Yesus disebut sebagai anak tunggal Allah? Lebih jauh, kata "tunggal" juga terdapat dalam Ibrani 11:17 yang mengacu kepada Ishak. Sementara itu, Alkitab sendiri menjelaskan bahwa kakak Ishak, Ismael, hidup lebih lama daripada ayahnya (Kejadian 25:9). Dengan demikian, Ishak tidak pernah secara tegas mengatakan dirinya sebagai anak tunggal Abraham. Sadar akan kejanggalan ini, sarjana Kristen tidak menafsirkan kata tersebut secara harfiah. Namun, mengapa hal itu tidak mereka terapkan juga pada Yohanes 3:16? Sekali lagi, sikap mendua ini membuktikan bahwa Yohanes 3:16 adalah bukti yang tidak meyakinkan. 

Diakui atau tidak, istilah "Bapa" yang dipakai Yesus ketika ia berbicara dengan Tuhan juga menimbulkan kontroversi. Tetapi, pada kesempatan ini, kami sekedar ingin menunjukkan bahwa penggunaan istilah tersebut oleh Yesus bukanlah bukti yang meyakinkan bahwa Tuhan adalah Bapa dari Yesus. Semua orang Kristen memakai kata "Bapa" ketika menyebut Tuhan. Bahkan, orang Yahudi pun memakai istilah itu (Yohanes 8:41). 

Sementara itu, sarjana tertentu menggunakan ayat Markus 14:36 (yang di dalamnya Yesus menggunakan kata "Abba" untuk Bapa) sebagai landasan argumentasi. Menurut mereka, penggunaan kata "Abba" menunjukkan adanya hubungan yang sangat unik antara Yesus dan Tuhan, yaitu antara Tuhan Anak dan Tuhan Bapa. Namun, argumentasi ini sangat lemah karena bagian2 kitab suci seperti Roma 8:15 dan Galatia 4:6 menyebutkan bahwa setiap orang Kristen dianjurkan memakai istilah "Abba" jika menyebut Tuhan. 

3. BUKTI YANG LEMAH. 
Di dalam sebuah kisah dalam Perjanjian Baru (Yohanes 20:28), disebutkan bahwa Tomas mengatakan, "My Lord and my God" (Tuanku dan Tuhanku). Orang Kristen bersikukuh bahwa Tomas menyebut Yesus dengan kedua sebutan itu. Orang Islam tidak keberatan terhadap istilah "lord" karena kata tersebut (sebagaimana dijelaskan di dalam Alkitab) mempunyai arti "tuan", kecuali bagian2 tertentu dalam Perjanjian Lama, kata "lord" bisa disetarakan dengan "God". Misalnya, dalam Mazmur 110:1 terdapat dua kata "lord", yang pertama berarti "Tuhan", sedang yang kedua berarti "tuan". Sara juga memanggil suaminya dengan sebutan "Lord" (1 Petrus 3:6). Pendapat Tomas yang menyatakan bahwa Yesus adalah "Tuhan" adalah masalah lain. Yesus menunjukkan bahwa kitab2 Perjanjian Lama sendiri menyebut orang2 sebagai "Allah" atau "God" (Yohanes 10:34, Mazmur 82:6), bahkan Musa diangkat Tuhan sebagai "Allah" atau "God" (Keluaran 7:1).

Menurut "doktrin trinitas", perbedaan antara Bapa dan Anak adalah esensial. Namun, prinsip ini dikaburkan oleh Yohanes 14:9. Di sini Yesus berkata kepada seseorang bernama Filipus, "...Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa..." Pernyataan yang secara harfiah sangat tegas itu mengandung sebuah doktrin yang sulit diterima, yaitu Yesus adalah Bapa. Para penafsir mengatakan bahwa "Bapa" adalah sinonim "Tuhan". Kita bisa memahami maksud ucapan yang dinisbahkan ke dalam mulut Yesus sebagai "melihat dia adalah sama dengan melihat Tuhan karena ia adalah Tuhan". Padahal, penulis yang sama juga menuturkan di dalam Yohanes 5:37, yang merupakan pernyataan Yesus sebaliknya. Dalam ayat ini, Yesus berkata mengenai Bapa kepada orang banyak, "...Kamu tidak pernah mendengar suara-Nya, rupa-Nya pun tidak pernah kamu lihat." Jelaslah, bahwa Yohanes 14:9 adalah bukti yang lemah. 

4. BUKTI SECARA MENYELURUH. 
Orang Kristen bersandar pada ayat di dalam Yohanes 5:18, "...karena ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapanya sendiri dan dengan demikian menyamakan dirinya dengan Allah." Mereka melewatkan ayat2 selanjutnya yang menjelaskan bahwa Yesus menundukkan dirinya di hadapan Tuhan dan menjelaskan kerendahan posisinya di hadapan Tuhan, bahkan secara tegas Yesus menyatakan dirinya sebagai rasul/utusan Tuhan (Yohanes 5:30-31). 

Di dalam Matius 2:5, Yesus berkata kepada seorang yang lumpuh, "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni." Beberapa orang ahli Taurat yang hadir di situ merasa kaget dan bertanya2 di dalam hati, "Siapakah yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah sendiri?" Sementara itu, di dalam ayat Yohanes 12:49 Yesus menafikan inisiatif pribadi dengan berkata, "Sebab Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan." Lihat juga Yohanes 8:40-42 yang sangat tegas menyatakan bahwa Yesus hanyalah seorang rasul/utusan Tuhan untuk umat Israel. 

Kamis, 17 Januari 2013

Bermazhab adalah kebutuhan


Bermazhab atau mengaji (bertalaqqi) pada ulama bermazhab adalah  kebutuhan bagi kaum muslim yang hidup pada zaman ini. Salah satu alasannya adalah dikarenakan hadits yang telah dibukukan hanyalah sebagian saja dan sebagian lagi dalam bentuk hafalan, dimana para penghafal hadits tersebut sudah tidak dapat kita temukan lagi.

Syarat sebagi seorang mujtahid untuk menyampaikan kepada khalayak ramai adalah mengetahui dan memahami seluruh ayat-ayat Al Qur’an dan seluruh hadits karena keseluruhannya saling terkait.

Walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya).

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)

Pada hakikatnya kita diperintahkan untuk mengikuti orang yang mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul shallallahu alaihi wasallam, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,

Karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya

Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.

Hal yang akan dipertanyakan terhadap sebuah pendapat / pemahaman seperti :
Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?
Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu ?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.

Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya

Dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, sebaiknyalah kita bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab. Tidak boleh kita memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah).

Para ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak)  melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri, kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,

1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya

Begitupula Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.

Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra

Al Imam Syafi’i ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Malik bin Anas ra,
Al-Imam Malik bin Anas ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra,
Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra,
Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam

Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.

Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.

Marilah kita tegakkan ukhuwah Islamiyah dengan mengikuti pemahaman / pendapat Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para ulama pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/01/tegakkan-ukhuwah-islamiyah/

Marilah memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab ditambah dengan mutho’laah (menelaah) kitab-kitab Imam Mazhab dan para pengikutnya.

Ikutilah Imam Mazhab yang telah disepakati dalam suatu wilayah / negara agar mudah saling belajar dan saling mengingatkan.

Di negara kita, pada umumnya adalah bermazhab Imam Syafi’i .

Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah,  pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,  pindah ke Persia,  kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah  lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah

Namun dalam hal menetapkan perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa, menetapkan perkara larangan yang jika dilanggar berdosa dan menetapkan perkara pengharaman yang jika dilanggar berdosa atau membuat fatwa atau menetapkan penegakkan hukum syari’ah maka sebaiknya tetap memperbandingkan pendapat antara Imam Mazhab yang empat. Oleh karenanya pada perguruan tinggi Islam, fakultas syari’ah diperlukan jurusan  perbandingan mazhab dan hukum.

Contoh ulama yang masih berpegang teguh kepada pemahaman/pendapat Imam Mazhab yang empat adalah Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah sebagaimana contoh yang terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/30/hukum-penutup-muka/

Imam Mazhab yang empat,  mereka bermazhab pada Rasululllah melalui bertalaqqi (mengaji) pada Salafush Sholeh . Jadi, kita mengikuti Imam Mazhab yang empat  dengan bertalaqqi (mengaji)  pada ulama bermazhab artinya bermazhab kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Sedangkan mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh , kenyataannya mereka tidak bertalaqqi (mengaji) pada Salafush Sholeh. Mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui upaya pemahaman terhadap lafaz/perkataan Salafush Sholeh dengan akal pikiran mereka sendiri. Sehingga boleh dikatakan mereka bermazhab dengan akal pikiran mereka sendiri atau dengan kata lain mereka telah menjadikan akal pikirannya sendiri sebagai berhala atau yang disebut menuhankan pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi)

Hal yang harus kita ingat selalu janganlah menjadikan akal pikiran kita sebagai berhala

Allah Azza wa Jalla berfirman,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”
« أما أنهم لم يكونوا يعبدونهم ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه »
Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ” mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).

Mereka yang mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, yang tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan yang tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya adalah yang disebut sebagai ahli bid’ah.

Oleh karenanya ahli bid’ah termasuk pelaku perbuatan syirik, karena penyembahan kepada selain Allah, penyembahan diantara pembuat bid’ah (perkara baru) dengan pengikutnya,  perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda

إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ

Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]

Mereka yang tanpa disadari telah mengada-ada dalam perkara agama, mengada-ada dalam perkara perintah dan larangan berdasarkan akal pikiran mereka sendiri. Agama adalah perintahNya dan laranganNya

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Mereka terjerumus kedalam kekufuran disebabkan antara lain,

1. Tanpa disadari telah menjadi ahli bid’ah, mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) dalam perkara larangan maupun kewajiban yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkanNya.

2. Terjerumus kekufuran dalam i'tiqod

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Begitupula peringatan yang disampaikan oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).

Mereka terjerumus dalam kekufuran sehingga menjadi musyrik, dan mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahadat

Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )

Jadi kalau mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahadat atau memerangi manusia yang telah bersyahadat maka boleh jadi telah menjadi musyrik karena terjerumus kedalam kekufuran.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Azza wa Jalla,

“wai’tashimuu bihabli allaahi jamii’an walaa tafarraquu waudzkuruu ni’mata allaahi ‘alaykum idz kuntum a’daa-an fa-allafa bayna quluubikum fa-ashbahtum bini’matihi ikhwaanan“

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara” (QS Ali Imron [3]: 103)

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara”. ( Qs. Al-Hujjarat :10)

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)

Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)

Fatwa Sayyid Abdurrahman bin Musthofa Al Aidrus


fatwa sayyid Abdur-Rahman bin Musthofa Al-Idrus

Al-Allamah sayyid Abdurrohman bin musthofa Al-Idrus ( tinggal di mesir ), menyatakan (dalam penjelasan Beliau tentang sholawatnya sayyid Ahmad Al-Badawi. Komentar ini di tulis dalam kitab yang berjudul " Miraatu Al-Syumus fi manaqibi Aali Al-Idrus "): bahwa di akhir zaman nanti, ketika sudah tidak di temukan seorang murobbi (Mursyid) yang memenuhi syarat, tidak ada satu pun amalan yang bisa mengantarkan seseorang wushul (ma'rifat) kepada Allah kecuali bacaan Sholawat kepada Nabi SAW, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga. Kemudian setiap amalan itu mungkin di terima dan mungkin juga di tolak kecuali bacaan sholawat kepada Nabi SAW yang pasti di terima, karena memuliakan kepada Nabi. Sayyid Abdur Rohman meriwayatkan keterangan tersebut berdasarkan kesepakatan ulama'.


Ketahuilah sesungguhnya para ulama' telah sepakat atas diwajibkannya membaca "Sholawat dan Salam" untuk Baginda Nabi SAW. Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai "kapan" kewajiban itu harus dilaksanakan?. Menurut Imam Malik, cukup sekali dalam seumur. Menurut Asy-Syafi'i, wajib dibaca pada tasyahud akhir dalam sholat fardhu. Menurut ulama' lainnya, wajib dibaca satu kali dalam setiap majlis. Ada juga ulama' yang berpendapat, wajib dibaca setiap kali mendengar nama nabi disebut. Dan ada juga yagn mengatakan wajib untuk memperbanyak sholawat, tanpa di batasi bilangan tertentu. Secara umum, membaca sholawat kepada nabi, merupakan hal yang agung dan keutamaannya pun sangat banyak.

Membaca sholawat, merupakan bentuk ibadah, yang paling utama dan paling besar pahalanya. Sampai-sampai sebagian kaum "arifin", mengatakan : "sungguhnya sholawat itu, bisa mengantarkan pengamalnya untuk ma'rifat kepada Allah, meskipun tanpa guru spiritual ( mursyid )" . Karena guru dan sanadnya, langsung melalui Nabi. Ingat ! setiap sholawat yang dibaca seseorang selalu diperlihatkan kepada beliau dan beliau membalasnya dengan do'a yang serupa ( artinya nabi tahu siapa saja yang membaca sholawat kepada beliau dan nabi mejawab sholawat dengan do'a yang serupa kepada pembacanya tadi ). Hal ini berbeda dengan dzikir-dzikir ( selain sholawat ) yang harus melalui bimbingan guru spiritual/mursyid, yang sudah mencapai maqom ma'rifat. Jika tidak demikian, maka akan dimasuki syaithon, dan pengamalnya tidak akan mendapat manfaat apapun". ( Hasyisyah Ash-Showi 'la Al-Jalalain, Hal :287,Juz III, Toha Putra )