Senin, 21 Januari 2013

PEringatan maulid Menurut para sahabat

Sejarah MauliduRrosulalloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam pada priode awal, Khulafairrosyidin. 
Perayaan Maulidurrosulalloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam yang paling awal dan dilakukan secara Beramai-ramai bisa ditemukan dalam Kitab Rihal, karangan Ibnu Jubayr (540-614), didalam bab Perjalanan (ms.114-115) merupakan sumber yang terawal yang menceritakan mengenai sambutan Maulidurrosulallohu Sholallohu 'Alaihi Wasallam secara beramai-ramai didalam suatu kelompok masyarakat. 

Tempat yang diberkati ini (rumah kelahiran Nabi Sholallohu 'Alaihi Wasallam ) dibuka dan setiap lelaki dibenarkan untuk memasukinya untuk mendapat barakah daripadanya (mutabarrikin bihi) pada setiap hari Isnin didalam bulan Rabi'al al-Awwal kerana pada hari dan bulan terssebut, Nabi telah dilahirkan." 

Rumah Kelahiran Nabi Sholallohu 'Alaihi Wasallam. 
Ahli sejarah abad ke-7 hijrah, Abul 'Abbas al-'Azafi dan anaknya Abul Qosim al-'Azafi telah menulis didalam kitab, ad-Durr al-Munazzam (tidak pernah diterbitkan).

Mereka yang menunaikan 'ibadah haji dan mereka yang sedang melakukan pengembaraan menyaksikan bahawa tiada jual-beli ataupun sebarang perbuatan lain dilakukan pada hari Maulidurrosulalloh di Makkah, melainkan mereka berbondong-bondong memenuhi tempat kelahiran Nabi yang diberkahi. Pada hari itu juga, Ka'bah dibuka dan orang ramai dibenarkan untuk menziarahinya.

Sejarah perayaan Maulidurrosulalloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam. Makkah, merupakan Ibu kepada semua Kota (semoga Allah merohmati dan memuliakannya), merupakan penghulu bagi lain-lain kota diseluruh negara Islam didalam meraikan Maulidurrosulalloh.
Al-Azraqi, seorang ahli sejarah Makkah pada abad ke 3 - hijrah, telah menulis didalam kitabnya, Akhbar Makkah (Jilid 2,ms160) tempat-tempat yang digalakkan (mustahabb) untuk menunaikan sholat di Makkah antaranya ialah rumah tempat Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wasallam dilahirkan.
(Maulid al-Nabi). 

Menurut beliau, rumah tersebut telah dijadikan masjid oleh ibu kepada Khalifah Musa al-Hadi dan Harun ar-Roshid. 

Al-Naqqash, seorang 'ulama didalam bidang al-Quran mengatakan bahawa tempat kelahiran Nabi merupakan tempat dimana do'a diterima pada waktu tengahari setiap hari Isnin. 
(Pendapat beliau ini tercatat didalam kitab al-Fasi, Shifa' al-ghorom Jilid 1, ms 199).

Pendapat Maulid Para Khulafaiirosyidin.

1). Sayyidina Ali bin Abi Tholib Karomallahu wajhah, 
lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Romadlon 40 Hijriah/661, adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, Beliau adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Beliau juga sepupu dari Nabi Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahro, ia menjadi menantu Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam. 

Pendapatnya tentang Maulid NAbi : Telah berkata Sayyidina ‘Ali : Siapa yang membesarkan majlis maulid Nabi sholallohu 'alaihi wasallam. dan karenanya diadakan majlis membaca maulid, maka dia tidak akan keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan masuk ke dalam syurga tanpa hisab. 
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafi'i) 

2). Sayyidina Utsman bin ‘Affan Dzun-Nuraini 
Utsman bin Affan 574 – 656 / 12 Dzulhijjah 35 H; umur 81–82 tahun, Beliau adalah shohabat Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wasallam yang termasuk KholafairRasyidin yang ke-3. Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi sangatlah dermawan, Beliau juga berjasa dalam hal membukukan Al-Qur'an. Beliau adalah khalifah ketiga yang memerintah dari tahun 644 (umur 69–70 tahun) hingga 656 selama 11–12 tahun). Selain itu sahabat nabi yang satu ini memiliki sifat yang sangat pemalu. 

Sayyidina Utsman bin Affan adalah shohabat Nabi dan juga khalifah ketiga dalam KholafairRasyidin.
Ia dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonomi yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Sayyidina Utsman bin Affan telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rosulalloh Sholallohu 'alaihi wasallam yaitu Siti Ruqoyah dan Siti Ummu Kultsum. 

Pendapatnya tentang Maulid NAbi : Telah berkata Sayyidina Utsman: Siapa yang menafkahkan satu dirham untuk majlis membaca maulid Nabi sholallohu 'alaihi wasallam. maka seolah-olah ia menyaksikan peperangan Badar dan Hunain. 
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 

3). Sayyidina Umar bin Khottob al-Furqon 
Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza atau lebih dikenal dengan Umar bin Khattab (581 - November 644) adalah salah seorang shohabat Nabi Muhammad yang juga adalah khalifah kedua Islam (634-644). Sayyidina Umar juga merupakan satu diantara empat orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang diberi petunjuk dan Gelar (Kholafair Rosyidin).

Sayyidina Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu. Ayahnya bernama Khottob bin Nufail Al-Shimh Al-Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Sayyidina Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Nabi Muhammad yaitu Al-Faruk yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. 

Keluarga Sayyidina Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis, yang pada masa itu merupakan sesuatu yang langka.
Sayyidina Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah. 

Pendapatnya tentang Maulid NAbi : Telah berkata Sayyidina‘Umar: Siapa yang membesarkan (memuliakan) majlis maulid Nabi sholallohu 'alaihi wasallam maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam. 
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafi'i) 

4). Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq 
Abu Bakar lahir: 572 - wafat: 23 Agustus 634/21 Jumadil Akhir 13 H, termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar menjadi khalifah Islam yang pertama pada tahun 632 hingga tahun 634 M. Lahir dengan nama Abdullah bin Abi Quhafah. 

Beliau adalah satu diantara empat khalifah yang diberi gelar KholafairRasyidin atau khalifah yang diberi petunjuk. 

Sayyidina Abu Bakar Ash-Shidiq Nama lengkapnya adalah 'Abdi Allah ibn 'Utsman bin Amir bi Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murroh bin Ka'ab bin Lu'ay bin Gholib bin Fihr al-Quraishi at-Tamimi'. Bertemu nasabnya dengan nabi Sholallohu 'Aalaihi Wasallam pada kakeknya ibn Murroh bin Ka'ab bin Lu'ai. Dan ibu dari abu Bakar adalah Ummu al-Khoir salma binti Shakhr bin Amir bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya sama-sama dari kabilah bani Taim. 

Sayyidina Abu Bakar adalah ayah dari 'Aisyah istri Nabi Muhammad Saw. Nama yang sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Muhammad menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Nabi Muhammad memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya 'yang berkata benar') setelah Abu Bakar membenarkan peristiwa Isra Miraj yang diceritakan oleh Muhammad kepada para pengikutnya, sehingga ia lebih dikenal dengan nama "Abu Bakar ash-Shiddiq". 

Pendapatnya tentang Maulid NAbi : Telah berkata Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq: Barangsiapa yang menafkahkan satu dirham bagi menggalakkan bacaan Maulid Nabi saw., maka ia akan menjadi temanku di dalam syurga. 
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

Jumat, 18 Januari 2013

Apakah YEsus Tuhan ?

TIDAK ADA BUKTI YG RASIONAL BAHWA YESUS ITU TUHAN
DOGMA gereja mengatakan yesus itu tuhan hanya berdasarkan asumsi2 dari ayat ambigu yang tidak bisa dimaknai literal, bahkan lebih banyak lagi ayat2 lain dlm alkitab yg dengan tegas mengatakan Yesus itu hanya Nabi untuk bani Israel dan bertuhan satu. Jadi siapa yang dianggap Tuhan oleh orang kristen selama ini, kasihan bener deh.....jangan-jangan iblis.

QS. 21:24-25. Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah (hai Muhammad): "Unjukkanlah hujahmu! (Al Qur'an) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan orang-orang yang sebelumku". Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling. Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".] 

[QS. 5:68. Katakanlah: "Hai Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen), kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan apa (Al Qur'an) yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka (Ahli Kitab); maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.] 

1. BUKTI YANG TIDAK MEMADAI. 
Yesus lahir dalam keadaan suci. Orang Kristen sering menyebut berbagai keajaiban yang ditunjukkannya sebagai bukti ketuhanannya. Jelas, dasar pemikiran ini lemah. Di dalam Alkitab dikisahkan penciptaan Adam tanpa ayah dan ibu (Kejadian 2), juga tentang mukjizat Nabi Elisa (2 Raja-raja 4,5,6). Bahkan, Alkitab sendiri menjelaskan bahwa Melkisedek, raja Salem, adalah seorang imam yang tidak berbapak, tidak beribu, tidak bersilsilah, tidak berawal, dan tidak berakhir, karena ia sama dengan anak Allah (Kejadian 14:18; Ibrani 7:3). Meskipun ketiga pribadi tersebut secara umum memiliki kualifikasi yang sama dengan Yesus, tidak ada seorang Kristen pun yang menuhankannya. 

Di dalam teks Alkitab, Yesus menggunakan istilah "anak manusia", "anak Allah", "mesias", dan "saviour" (juru selamat), namun istilah2 tersebut juga digunakan untuk merujuk kepada orang2 selain Yesus. Misalnya, Yehezkiel disebut sebagai "anak manusia" (Yehezkiel 3:1). Selain itu, Yesus menyebut para pembawa kedamaian sebagai "anak-anak Allah" (Matius 5:9). Sikap mendua para penerjemah Alkitab terlihat dengan diterjemahkannya kata "mesias" yang tidak menunjuk kepada Yesus sebagai "orang yang Kuurapi". Misalnya, Koresy, raja Persia, diterjemahkan sebagai "orang yang Kuurapi" (Yesaya 45:1), padahal kata asli Ibraninya adalah "mesias". Lihat juga Mazmur 2:2, dimana "mesias" yang menunjuk kepada Daud diterjemahkan sebagai "yang diurapi-Nya", padahal kata asli Ibraninya adalah "mesias". Sementara itu, ayat2 yang menunjuk kepada Yesus mereka terjemahkan dengan "mesias" atau padanan kata Yunani "kristus". Dengan cara ini, mereka berusaha memberikan kesan bahwa hanya ada satu Mesias. Untuk orang selain Yesus, mereka menggunakan kata "penolong" (2 Raja-raja 13:5), tetapi untuk ayat2 yang menunjuk Yesus, mereka terjemahkan sebagai "juru selamat", padahal sama2 mengemban misi "saviour".

Persekongkolan dalam aktivitas penerjemahan modern dapat ditunjukkan dengan mudah. Alkitab King James 1611 tersebar secara luas. Bandingkan Alkitab tersebut dengan versi terjemahan yang lebih akhir, misalnya New American Bible. Pada Alkitab yang pertama, di dalam 2 Raja-raja 13:5 kita dapatkan kata "saviour", sedangkan pada New American Bible, kata itu diganti dengan sinonimnya, "deliverer". 

Jelasnya, menurut Alkitab sendiri, "JURU SELAMAT" itu tidak hanya menunjuk kepada Yesus maupun Tuhan (Yesaya 43:3), tetapi juga menunjuk kepada orang2 lain selain Yesus, hanya saja mereka menerjemahkannya secara tidak fair (2 Raja-raja 13:5, Nehemia 9:27 dan Obaja 1:21, saviours, bentuk jamak). 

Ada pernyataan lain yang dapat disebutkan di sini. Dalam Yohanes 8:58 dikatakan, "...sebelum Abraham jadi, Aku telah ada." Seandainya Yesus bermaksud mengklaim bahwa ia telah hidup sebelum Abraham, apakah itu merupakan alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa ia adalah Tuhan? Orang Kristen mungkin tidak mengira bahwa Nabi Yeremia juga telah mengalami kehidupan sebelum manusia (Yeremia 1:5). Seharusnya, mereka menafsirkan pernyataan di dalam Yeremia tersebut dengan cara yang sama ketika mereka menafsirkan Yohanes 8:58, yaitu secara harfiah. Namun, mengapa mereka tidak menerapkan pemahaman yang sama? 

2. BUKTI YANG MENDUA. 
Di dalam Yohanes 14:10 Yesus berkata, "...Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku..." dan di dalam Yohanes 10:30 Yesus mengatakan, "Aku dan Bapa adalah satu." Bahasa Yunani menerjemahkan "satu" dengan "hen". Beberapa sarjana menegaskan bahwa satu2nya pemahaman yang mungkin dari kata tersebut adalah "satu dalam esensi atau wujud". Namun, kedua pernyataan itu tidak berdasar, satu contoh untuk membantahnya sudah cukup. Kata2 yang sama dipakai oleh Yesus di dalam Yohanes 17:11,21,22,23 menunjukkan bahwa Yesus dan murid2nya berada di dalam satu kesatuan. Dengan demikian, kedua pernyataan yang dinisbahkan penulisnya ke dalam mulut Yesus di atas belumlah cukup untuk menunjukkan ketuhanan Yesus.

Kalimat lain yang sering dikemukakan oleh kalangan Kristen adalah apa yang dikatakan sebagai pernyataan Yesus di dalam Yohanes 3:16, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal..." Orang Kristen mengatakan bahwa kata "tunggal" dalam ayat itu secara khusus mengacu kepada Yesus, bukan "anak-anak Allah" yang lain. Ini juga menunjukkan sikap mereka yang tidak konsisten, sebab dalam Keluaran 4:22 dikatakan bahwa Israel adalah anak sulung Allah, dan dalam Yeremia 31:9 dikatakan bahwa Efraim adalah anak sulung Allah. Jadi, bagaimana mungkin Yesus disebut sebagai anak tunggal Allah? Lebih jauh, kata "tunggal" juga terdapat dalam Ibrani 11:17 yang mengacu kepada Ishak. Sementara itu, Alkitab sendiri menjelaskan bahwa kakak Ishak, Ismael, hidup lebih lama daripada ayahnya (Kejadian 25:9). Dengan demikian, Ishak tidak pernah secara tegas mengatakan dirinya sebagai anak tunggal Abraham. Sadar akan kejanggalan ini, sarjana Kristen tidak menafsirkan kata tersebut secara harfiah. Namun, mengapa hal itu tidak mereka terapkan juga pada Yohanes 3:16? Sekali lagi, sikap mendua ini membuktikan bahwa Yohanes 3:16 adalah bukti yang tidak meyakinkan. 

Diakui atau tidak, istilah "Bapa" yang dipakai Yesus ketika ia berbicara dengan Tuhan juga menimbulkan kontroversi. Tetapi, pada kesempatan ini, kami sekedar ingin menunjukkan bahwa penggunaan istilah tersebut oleh Yesus bukanlah bukti yang meyakinkan bahwa Tuhan adalah Bapa dari Yesus. Semua orang Kristen memakai kata "Bapa" ketika menyebut Tuhan. Bahkan, orang Yahudi pun memakai istilah itu (Yohanes 8:41). 

Sementara itu, sarjana tertentu menggunakan ayat Markus 14:36 (yang di dalamnya Yesus menggunakan kata "Abba" untuk Bapa) sebagai landasan argumentasi. Menurut mereka, penggunaan kata "Abba" menunjukkan adanya hubungan yang sangat unik antara Yesus dan Tuhan, yaitu antara Tuhan Anak dan Tuhan Bapa. Namun, argumentasi ini sangat lemah karena bagian2 kitab suci seperti Roma 8:15 dan Galatia 4:6 menyebutkan bahwa setiap orang Kristen dianjurkan memakai istilah "Abba" jika menyebut Tuhan. 

3. BUKTI YANG LEMAH. 
Di dalam sebuah kisah dalam Perjanjian Baru (Yohanes 20:28), disebutkan bahwa Tomas mengatakan, "My Lord and my God" (Tuanku dan Tuhanku). Orang Kristen bersikukuh bahwa Tomas menyebut Yesus dengan kedua sebutan itu. Orang Islam tidak keberatan terhadap istilah "lord" karena kata tersebut (sebagaimana dijelaskan di dalam Alkitab) mempunyai arti "tuan", kecuali bagian2 tertentu dalam Perjanjian Lama, kata "lord" bisa disetarakan dengan "God". Misalnya, dalam Mazmur 110:1 terdapat dua kata "lord", yang pertama berarti "Tuhan", sedang yang kedua berarti "tuan". Sara juga memanggil suaminya dengan sebutan "Lord" (1 Petrus 3:6). Pendapat Tomas yang menyatakan bahwa Yesus adalah "Tuhan" adalah masalah lain. Yesus menunjukkan bahwa kitab2 Perjanjian Lama sendiri menyebut orang2 sebagai "Allah" atau "God" (Yohanes 10:34, Mazmur 82:6), bahkan Musa diangkat Tuhan sebagai "Allah" atau "God" (Keluaran 7:1).

Menurut "doktrin trinitas", perbedaan antara Bapa dan Anak adalah esensial. Namun, prinsip ini dikaburkan oleh Yohanes 14:9. Di sini Yesus berkata kepada seseorang bernama Filipus, "...Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa..." Pernyataan yang secara harfiah sangat tegas itu mengandung sebuah doktrin yang sulit diterima, yaitu Yesus adalah Bapa. Para penafsir mengatakan bahwa "Bapa" adalah sinonim "Tuhan". Kita bisa memahami maksud ucapan yang dinisbahkan ke dalam mulut Yesus sebagai "melihat dia adalah sama dengan melihat Tuhan karena ia adalah Tuhan". Padahal, penulis yang sama juga menuturkan di dalam Yohanes 5:37, yang merupakan pernyataan Yesus sebaliknya. Dalam ayat ini, Yesus berkata mengenai Bapa kepada orang banyak, "...Kamu tidak pernah mendengar suara-Nya, rupa-Nya pun tidak pernah kamu lihat." Jelaslah, bahwa Yohanes 14:9 adalah bukti yang lemah. 

4. BUKTI SECARA MENYELURUH. 
Orang Kristen bersandar pada ayat di dalam Yohanes 5:18, "...karena ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapanya sendiri dan dengan demikian menyamakan dirinya dengan Allah." Mereka melewatkan ayat2 selanjutnya yang menjelaskan bahwa Yesus menundukkan dirinya di hadapan Tuhan dan menjelaskan kerendahan posisinya di hadapan Tuhan, bahkan secara tegas Yesus menyatakan dirinya sebagai rasul/utusan Tuhan (Yohanes 5:30-31). 

Di dalam Matius 2:5, Yesus berkata kepada seorang yang lumpuh, "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni." Beberapa orang ahli Taurat yang hadir di situ merasa kaget dan bertanya2 di dalam hati, "Siapakah yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah sendiri?" Sementara itu, di dalam ayat Yohanes 12:49 Yesus menafikan inisiatif pribadi dengan berkata, "Sebab Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan." Lihat juga Yohanes 8:40-42 yang sangat tegas menyatakan bahwa Yesus hanyalah seorang rasul/utusan Tuhan untuk umat Israel. 

Kamis, 17 Januari 2013

Bermazhab adalah kebutuhan


Bermazhab atau mengaji (bertalaqqi) pada ulama bermazhab adalah  kebutuhan bagi kaum muslim yang hidup pada zaman ini. Salah satu alasannya adalah dikarenakan hadits yang telah dibukukan hanyalah sebagian saja dan sebagian lagi dalam bentuk hafalan, dimana para penghafal hadits tersebut sudah tidak dapat kita temukan lagi.

Syarat sebagi seorang mujtahid untuk menyampaikan kepada khalayak ramai adalah mengetahui dan memahami seluruh ayat-ayat Al Qur’an dan seluruh hadits karena keseluruhannya saling terkait.

Walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya).

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)

Pada hakikatnya kita diperintahkan untuk mengikuti orang yang mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul shallallahu alaihi wasallam, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,

Karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya

Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.

Hal yang akan dipertanyakan terhadap sebuah pendapat / pemahaman seperti :
Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?
Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu ?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.

Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya

Dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, sebaiknyalah kita bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab. Tidak boleh kita memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah).

Para ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak)  melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri, kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,

1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya

Begitupula Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.

Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra

Al Imam Syafi’i ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Malik bin Anas ra,
Al-Imam Malik bin Anas ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra,
Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra,
Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam

Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.

Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.

Marilah kita tegakkan ukhuwah Islamiyah dengan mengikuti pemahaman / pendapat Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para ulama pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/01/tegakkan-ukhuwah-islamiyah/

Marilah memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab ditambah dengan mutho’laah (menelaah) kitab-kitab Imam Mazhab dan para pengikutnya.

Ikutilah Imam Mazhab yang telah disepakati dalam suatu wilayah / negara agar mudah saling belajar dan saling mengingatkan.

Di negara kita, pada umumnya adalah bermazhab Imam Syafi’i .

Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah,  pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,  pindah ke Persia,  kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah  lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah

Namun dalam hal menetapkan perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa, menetapkan perkara larangan yang jika dilanggar berdosa dan menetapkan perkara pengharaman yang jika dilanggar berdosa atau membuat fatwa atau menetapkan penegakkan hukum syari’ah maka sebaiknya tetap memperbandingkan pendapat antara Imam Mazhab yang empat. Oleh karenanya pada perguruan tinggi Islam, fakultas syari’ah diperlukan jurusan  perbandingan mazhab dan hukum.

Contoh ulama yang masih berpegang teguh kepada pemahaman/pendapat Imam Mazhab yang empat adalah Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah sebagaimana contoh yang terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/30/hukum-penutup-muka/

Imam Mazhab yang empat,  mereka bermazhab pada Rasululllah melalui bertalaqqi (mengaji) pada Salafush Sholeh . Jadi, kita mengikuti Imam Mazhab yang empat  dengan bertalaqqi (mengaji)  pada ulama bermazhab artinya bermazhab kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Sedangkan mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh , kenyataannya mereka tidak bertalaqqi (mengaji) pada Salafush Sholeh. Mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui upaya pemahaman terhadap lafaz/perkataan Salafush Sholeh dengan akal pikiran mereka sendiri. Sehingga boleh dikatakan mereka bermazhab dengan akal pikiran mereka sendiri atau dengan kata lain mereka telah menjadikan akal pikirannya sendiri sebagai berhala atau yang disebut menuhankan pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi)

Hal yang harus kita ingat selalu janganlah menjadikan akal pikiran kita sebagai berhala

Allah Azza wa Jalla berfirman,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”
« أما أنهم لم يكونوا يعبدونهم ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه »
Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ” mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).

Mereka yang mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, yang tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan yang tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya adalah yang disebut sebagai ahli bid’ah.

Oleh karenanya ahli bid’ah termasuk pelaku perbuatan syirik, karena penyembahan kepada selain Allah, penyembahan diantara pembuat bid’ah (perkara baru) dengan pengikutnya,  perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda

إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ

Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]

Mereka yang tanpa disadari telah mengada-ada dalam perkara agama, mengada-ada dalam perkara perintah dan larangan berdasarkan akal pikiran mereka sendiri. Agama adalah perintahNya dan laranganNya

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Mereka terjerumus kedalam kekufuran disebabkan antara lain,

1. Tanpa disadari telah menjadi ahli bid’ah, mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) dalam perkara larangan maupun kewajiban yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkanNya.

2. Terjerumus kekufuran dalam i'tiqod

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Begitupula peringatan yang disampaikan oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).

Mereka terjerumus dalam kekufuran sehingga menjadi musyrik, dan mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahadat

Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )

Jadi kalau mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahadat atau memerangi manusia yang telah bersyahadat maka boleh jadi telah menjadi musyrik karena terjerumus kedalam kekufuran.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Azza wa Jalla,

“wai’tashimuu bihabli allaahi jamii’an walaa tafarraquu waudzkuruu ni’mata allaahi ‘alaykum idz kuntum a’daa-an fa-allafa bayna quluubikum fa-ashbahtum bini’matihi ikhwaanan“

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara” (QS Ali Imron [3]: 103)

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara”. ( Qs. Al-Hujjarat :10)

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)

Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)

Fatwa Sayyid Abdurrahman bin Musthofa Al Aidrus


fatwa sayyid Abdur-Rahman bin Musthofa Al-Idrus

Al-Allamah sayyid Abdurrohman bin musthofa Al-Idrus ( tinggal di mesir ), menyatakan (dalam penjelasan Beliau tentang sholawatnya sayyid Ahmad Al-Badawi. Komentar ini di tulis dalam kitab yang berjudul " Miraatu Al-Syumus fi manaqibi Aali Al-Idrus "): bahwa di akhir zaman nanti, ketika sudah tidak di temukan seorang murobbi (Mursyid) yang memenuhi syarat, tidak ada satu pun amalan yang bisa mengantarkan seseorang wushul (ma'rifat) kepada Allah kecuali bacaan Sholawat kepada Nabi SAW, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga. Kemudian setiap amalan itu mungkin di terima dan mungkin juga di tolak kecuali bacaan sholawat kepada Nabi SAW yang pasti di terima, karena memuliakan kepada Nabi. Sayyid Abdur Rohman meriwayatkan keterangan tersebut berdasarkan kesepakatan ulama'.


Ketahuilah sesungguhnya para ulama' telah sepakat atas diwajibkannya membaca "Sholawat dan Salam" untuk Baginda Nabi SAW. Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai "kapan" kewajiban itu harus dilaksanakan?. Menurut Imam Malik, cukup sekali dalam seumur. Menurut Asy-Syafi'i, wajib dibaca pada tasyahud akhir dalam sholat fardhu. Menurut ulama' lainnya, wajib dibaca satu kali dalam setiap majlis. Ada juga ulama' yang berpendapat, wajib dibaca setiap kali mendengar nama nabi disebut. Dan ada juga yagn mengatakan wajib untuk memperbanyak sholawat, tanpa di batasi bilangan tertentu. Secara umum, membaca sholawat kepada nabi, merupakan hal yang agung dan keutamaannya pun sangat banyak.

Membaca sholawat, merupakan bentuk ibadah, yang paling utama dan paling besar pahalanya. Sampai-sampai sebagian kaum "arifin", mengatakan : "sungguhnya sholawat itu, bisa mengantarkan pengamalnya untuk ma'rifat kepada Allah, meskipun tanpa guru spiritual ( mursyid )" . Karena guru dan sanadnya, langsung melalui Nabi. Ingat ! setiap sholawat yang dibaca seseorang selalu diperlihatkan kepada beliau dan beliau membalasnya dengan do'a yang serupa ( artinya nabi tahu siapa saja yang membaca sholawat kepada beliau dan nabi mejawab sholawat dengan do'a yang serupa kepada pembacanya tadi ). Hal ini berbeda dengan dzikir-dzikir ( selain sholawat ) yang harus melalui bimbingan guru spiritual/mursyid, yang sudah mencapai maqom ma'rifat. Jika tidak demikian, maka akan dimasuki syaithon, dan pengamalnya tidak akan mendapat manfaat apapun". ( Hasyisyah Ash-Showi 'la Al-Jalalain, Hal :287,Juz III, Toha Putra )

Rabu, 16 Januari 2013

INTERNALISASI DOKTRIN DAN PEMIKIRAN ASWAJA

Risalah ini berisi Tentang:
I. DEFINISI DAN HISTORIS KEMUNCULAN ASWAJA
II. GARIS-GARIS BESAR DOKTRIN ASWAJA
III. METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ ALFIKR) ASWAJA
IV. ESENSI KHILAFAH DALAM PANDANGAN ASWAJA

I. DEFINISI DAN HISTORIS KEMUNCULAN ASWAJA
Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA), merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, Assunnah, dan Aljamâ'ah.Secara etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata assunah (السنّة) memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dll. Sedangkan kata aljamâ'ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.

Adapun terminologi Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar'i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para sahabat Nabi dalam akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf). Terminologi istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat nabi Muhammad saw.:

والذي نفس محمد بيده لتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة, فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار, قيل: من هم يا رسول الله ؟ قال: هم أهل السنة والجماعة. (رواه الطبراني)
Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamanNya, umatku akan bercerai-berai ke dalam 73 Golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka”. Ditanyakan: ”Siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah”. (HR. Thabrani)

تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكى قالوا ومن الناجية؟ قال أهل السنة والجماعة قيل وما السنة والجماعة؟ قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي

Umat ini nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lainnya dalam kerusakan. Shahabat bertanya, ”Siapa yang selamat?” Nabi menjawab: ”Ahlussunah wal Jama‘ah”. Mereka bertanya kembali: ”Siapa Ahlussunah wal Jama‘ah?” Jawab Nabi: ”Adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini”.

Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara riil di tengah-tengah umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok.Pertama, Ahl Alhadits dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Alqur’an, Assunnah Ijma dan Qiyas.Kedua, para ahl alkalâm atau ahl annadhar (teologi) yang mengintegrasikan intelegensi (asshinâ’ah alfikriyyah).Mereka adalah Asyâ'irah dengan pimpinan Abu Hasan Al'asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu Manshur Almaturidi.Sumber penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan dalil sam’iyyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdân wa Alkasyf (kaum shufiyah). Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadits dan Ahl Annadhar sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf dan ilham.[1]Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.

Di Indonesia, Nahdlatul Ulama merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat nabi, tâbi'în dan tâbi'înattâbi'în yang umumnya disebut dengan assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada Assunah dan Aljamâ'ah, yaitu Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktekkan para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafa‘ Arrasyidin. Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah atau jalan para sahabatnya dalam akidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini terdiri dari para teolog (mutakallimîn), ahli fiqh (fuqahâ’), ahli hadits (muhaditsîn), dan ulama tasawuf (mutashawwifîn).

Kedua, ASWAJA adalah paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah Imam Abu Alhasan Al'asy'ari dan Imam Abu Manshur Almaturidi memformulasikan akidah Islam yang sesuai dengan Alqur'an dan Assunnah.Itu sebabnya, kelompok ASWAJA juga disebut sebagai penganut paham Asy'ariyah dan Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam kitab Al'ittihâf Assâdah Almuttaqîn, Syarah kitab Ihyâ' Ulûmiddîn karya Imam Alghazali menyatakan:

إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتردية
Ketika diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al'asy'ari dan Almaturidi.

KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama menandaskan: “Ciri Ahlussunah wal Jama‘ah, adalah mereka yang di bidang tauhid mengikuti Imam Abu Alhasan Al'asy’ari atau Abu Mansur Almaturidi; di bidang fiqh mengikuti madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin Idris atau Ahmad bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid Albaghdadi dan Imam Alghazali.”

Dari terminologi ASWAJA seperti di atas, dapat dimengerti bahwa Ahlussunah wal Jama‘ah merupakan istilah yang terbangun melalui nalar ‘urfi, untuk mencirikan umat Muslim sebagai representasi dari sawâd al'a’dham (kelompok mayoritas) ketika kondisi perpecahan paham merajalela dan dirasa perlu merapatkan barisan dan menyepakati sebuah identititas, sebagai upaya membedakan antara yang haq dan bathil, antara mereka yang teguh mengikuti sunnah dan yang menyimpang dengan berbagai macam bid’ah, sebagaimana yang ditekankan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

قالرسولاللهgلايجمعاللههذهالأمةعلىضلالةأبدا,قاليداللهعلىالجماعةفاتبعواسوادالأعظمفإنهمنشذشذفيالنار
Rasulullah saw. bersabda, Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan selamanya. Kekuatan (pertolongan) Allah berada pada kelompok, maka ikutilah kelompok terbesar, karena sesungguhnya seseorang yang mimisahkan diri, ia memisahkan diri ke dalam neraka.

Sejarah kemunculan istilah ASWAJA sebagai sebuah nama firqah (sekte) Islam, sebenarnya dipengaruhi dari perpecahan dalam Islam. Sejak peristiwa pembunuhan khalifah Islam ketiga, Utsman bin Affan, sejak saat itulah episode perpecahan dalam tubuh Islam dimulai. Dari peristiwa ini muncul serangkaian perang antara para sahabat. Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah saat itu harus berhadapan perang melawan Sayyidah Aisyah, mertuanya sendiri, yang menuntut qishas darah Utsman bin Affan. Dalam perang yang dikenal sebagai perang Jamal ini, puluhan sahabat besar dan hapal Alqur’an gugur terbunuh oleh sesama Muslim akibat provokasi da konspirasi kaum munafiq Yahudi (Abdulah ibn Saba’ dkk.).Berikutnya, pecah perang Shiffin antara pasukan Ali berhadapan dengan pasukan Muawaiyah yang kemudian memunculkan peristiwa Tahkîm (arbitrase).

Ide Tahkîm dari kubu Muawiyah menjelang kekalahan pasukannya yang disetujui Ali ini, kemudian menyulut perpecahan di antara pasukan Ali, yang dari sini selanjutnya melahirkan sekte Islam Syi’ah yang mendukung kebijakan Ali dan sekte Khawarij yang menolak kebijakannya.

Sejak kematian Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M., umat Islam telah terpecah setidaknya menjadi empat kelompok.Petama, Syi’ah yang fanatik kepada Ali dan keluarganya serta membenci Muawiyah Ibn Abi Sufyan.Kedua, Khawarij yang memusuhi bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketiga, kelompok yang mengakui kekhalifahan Muawiyah. Dan keempat, sejumlah sahabat antara lain Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan keagamaan. Dari aktifitas mereka inilah selanjutnya lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan kepada generasi berikutnya, sehingga melahirkan tokoh-tokoh mutakallimîn, muhadditsîn, fuqahâ', mufassirîn, dan mutashawwifîn.Kelompok ini berusaha mengakomodir semua kekuatan dan model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam.

ASWAJA sebagai sebuah sekte Islam, eksistensinya semakin populer ketika Syaikh Abu Alhasan Al'asy’ari menyatakan keluar dari paham Mu'tazilah dan menyerang akidah paham tersebut.Sebelumnya, Abu Alhasan Al'asy’ari adalah seorang penganut Mu'tazilah dan menjadi murid Abu Ali Aljaba’i Almu'tazili, seorang tokoh Mu'tazilah yang sekaligus ayah tirinya. Dalam kutipan akhir perdebatan antara Abu Alhasan Al'asy’ari dengan gurunya, Abu Ali Aljaba’i, dalam rangka membatalkan paham Mu'tazilah, diceritakan: Abu Alhasan Al'asy’ari bertanya pada Abu Ali Aljaba’i: “Bagaimana pendapatmu tentang tiga saudara yang meninggal dunia, yang satu adalah orang yang taat, yang kedua adalah orang yang durhaka, dan yang ketiga meninggal ketika masih kecil?”

Abu Ali Aljaba’i menjawab: “yang taat diberi pahala dan masuk surga, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, dan yang kecil berada di antara surga dan neraka (manzilah baina almanzilatain), tidak diberi pahala dan tidak disiksa”.

Abu Alhasan bertanya: “Jika yang kecil mengatakan: “Wahai Tuhanku, kenapa Engkau mencabut nyawaku ketika aku masih kecil? Jika Engkau biarkan aku hidup, aku akan taat dan masuk surga”, lalu bagaimana jawaban Allah?”.

Abu Ali Aljaba’i menjawab: “Allah akan menjawab: “Aku maha tahu, jika engkau hidup sampai dewasa, maka engkau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik adalah engkau mati ketika masih kecil”.

Abu Alhasan bertanya lagi: “Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika Engkau tahu aku akan durhaka, kenapa Engkau tidak mencabut nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?”, lalu apa yang akan dikatakan Allah?”Pada pertanyaan terakhir inilah Abu Ali Aljaba’i tak sanggup menjawab untuk membela pahamnya.
Setelah Abu Ali Aljaba’i gagal menjawab pertanyaannya, Abu Alhasan Al'asy’ari lalu menyatakan keluar dari paham Mu'tazilah, dan aktif menulis kitab-kitab untuk menolak akidah Mu'tazilah dan merumuskan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.

Dengan demikian, ASWAJA adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah.ASWAJA meyakini wahyu bersifat 'gaib' dan disampaikan dalam kegaiban. Untuk itu tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasulullah saw., karena beliaulah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah. Selain Rasulullah, para sahabat yang selalu dekat dan memperoleh ajaran langsung Rasulullah adalah umat Islam yang kualitas pemahaman terhadap wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi Muhammad memahami dan mengamalkan wahyu. Hanya dengan merujuk kepada akidah, amaliah dan akhlak mereka inilah suatu sekte Islam berhak disebut Ahlussunah wal Jama‘ah.
Apabila dewasa ini semua sekte Islam mengklaim diri sebagai ASWAJA, maka harus ditegaskan bahwa ASWAJA bukanlah klaim, melainkan paham keagamaan dengan bukti kesesuaian akidah, amaliah dan akhlaknya dengan akidah, amaliah dan akhlak Rasulullah dan yang telah disepakati para sahabat di masa Khulafa' Arrasyidin, berdasarkan hujjah dan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.

II. GARIS-GARIS BESAR DOKTRIN ASWAJA

Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (addîn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208)

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat Islam adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalam penyaksian (musyâhadah) kepada Allah”.[2]

Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut fiqh.Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu tauhid.Dan kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak.Paham ASWAJA mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran esensialnya.Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme, merupakan kemunafikan.Begitu juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah klenik.Semata-mata formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas belaka adalah sia-sia. Imam Malik mengatakan:

مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتفَقَّهْ فَقَدْ تَزَندَقَ وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ
Barang siap menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang siapa memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan kebenaran.

a. Doktrin Keimanan

Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H.).

Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal.Yaitu dalam masalah istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.

Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya'Allah, seperti “Saya beriman, insya'Allah”, menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal dengan adanya ragu-ragu.Menurut Asyâ'irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu billah min dzalik.Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.

Kedua sifat takwîn (mewujudkan), menurut Asyâ'irah sifat takwîn (تكوين) tidak berbeda dengan sifat Qudrah.Sedangkan menurut Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.

Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al'asy'ari, keimanan demikian tidak cukup.Sedangkan Asyâ'irah (pengikut Abu Alhasan Al'asy'ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.

Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan.Ada iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan terhadap aqâ'idlima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (محجوب) dalam mengetahui Allah.Ketiga, iman bil iyyân(‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah.Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya.Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqîn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fanâ' billah.

Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman biliyyân (‘ainul yaqîn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).

Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau mengEsakan Allah dalam af'âl, shifah dan dzât. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhiddzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd.Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah:

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.(QS. Ashshafat: 96)

Sebagian ulama 'arif billah menyatakan:

من شهد الخلق لا فعل لهم فقد فاز ومن شهدهم لاحياة لهم فقد جاز ومن شهدهم عين العدم فقد وصل
Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah wushul. 

Konsep tauhid ASWAJA mengenai af'âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan Mu'tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat di antara dua paham ekStrim tersebut.ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya).Dalam keyakinan ASWAJA, secara dhahir manusia adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. 

Seseorang yang melakukan maksiat ataupun bid'ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka.[3]ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda:

إِذَاقَالَالرَّجُلُلأَخِيهِيَاكَافِرُفَقَدْبَاءَبِهِأَحَدُهُمَا
Ketika seseorang berkata kepada saudaranya: ”wahai seorang yang kafir”, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari)

Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama (ma'lûm bi adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa dita’wil.

b. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu'amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.

Ada alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat madzhab ini.Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan).Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu'tazilah yang cenderung rasionalis.

Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya:

خَيْرُالأُمُورِأَوْسَاطُهَا
Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.

Dengan prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan.Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan.Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil (Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas) ini dirumuskan dari ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ.
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya) (QS. Annisa': 59)

Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada Alqur'an dan Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang pada Ijma' (konsensus) umat (mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma'. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.

Disamping itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad.Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fiqh.Dengan demikian, ASWAJA tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup.Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini 'enggan' memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh ASWAJA berdasarkan firman Allah:


فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. Annahl: 43)

c. Doktrin Keihsanan

Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda Rasulullah saw.:

الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.

Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya.

Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadits (muhadditsîn).Dari kelompok-kelompok ini masing-masing memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa diuraikan di makalah ringkas ini.

III. METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ ALFIKR) ASWAJA

Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.
Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya.Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.

a. Tawasuth (Moderat)

Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri.Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143) 

b. Tawâzun (Berimbang)

Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25)

c. Ta'âdul (Netral dan Adil)

Ta'âdul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl).Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasrkan firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.(QS. Alma'idah: 9)

d. tasâmuh (toleran)

Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar.Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan.Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq.Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah swt.berfirman:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)

Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.

Dengan demikian, tasâmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai sesama umat manusia.Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani.Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal.Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah swt.:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13)

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)

IV. ESENSI KHILAFAH DALAM PANDANGAN ASWAJA

Dalam pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau negara (khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ'il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, yang menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena kedudukannya yang dipandang sebagai wasîlah untuk maqâshid berupa tugas amar ma'ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak harus terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar idiologi negara tertentu. Apapun sistem, bentuk ataupun dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas dakwah islamiyah, serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau merubahnya. Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya wajib dilakukan —sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.

Pendirian Khilafah Islamiyah bagi ASWAJA (baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks keIndonesiaan, bukanlah cita-cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah sebagai wasîlah. Ada cita-cita (maqâshid) yang jauh lebih penting dan esensial dari sekedar membentuk instrumen perjuangan, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di tengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini bisa dilangsungkan tidak harus melalui pendirian Khilafah Islamiyah.

Pandangan seperti inilah yang mendasari sikap ASWAJA (baca: NU) yang tidak ambisi dan bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Karena khilafah bukanlah satu-satunya instrumen yang bisa ditempuh untuk menegakkan syariat dalam kehidupan umat.Bahkan selama ini, setiap usaha merubah bentuk dan dasar hukum negara, nyata-nyata lebih banyak memunculkan ekses negatif yang justru merugikan kaum Muslimin sendiri.

Gerak perjuangan ASWAJA (NU) dalam konteks Indonesia, bukan semangat perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah, melainkan semangat perjuangan menegakkan syariat dalam perilaku keseharian umat. Dengan kata lain, perjuangan ASWAJA (NU) tidak dikonsentrasikan pada pembentukan sebuah wadah syariat secara formal, berupa bentuk khilafah atau sistem negara Islam, melainkan lebih dikonsentrasikan pada perjuangan aplikasi syariat dalam perilaku umat sehingga menjadi ruh dan substansi perilaku kehidupan masyarakat. Perilaku umat yang berlandaskan syariat jauh lebih penting dan lebih baik dibanding sekedar formalitas bentuk dan sistem negara islami.

Hal ini logis, sebab jika kita jujur membaca fakta sejarah khilafah dalam Islam, sebenarnya yang layak dilabeli dengan 'islamiyah' (baca: demokratis), hanyalah khilafah era Khulafa' Arrasyidin saja. Khilafah pasca Khulafa' Arrasyidin, secara umum telah kehilangan label ke-islamiyah-annya, bahkan identik dengan sistem kekaisaran Romawi dan Persi.Dari sejarah ini pula bisa kita tegaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya tidak bisa diklaim sebagai produk kafir, sebab khilafah era Khulafa' Arrasyidin adalah pemerintahan paling demokratis dari sistem demokrasi manapun.

Disamping itu, misi pendirian kembali Khilafah Islamiyah yang diusung oleh sebagian sekte dan gerakan Islam dalam konteks Indonesia dewasa ini, faktanya tidak murni hanya mengusung misi mendirikan negara Islam saja, melainkan juga mengusung paham dan idiologi aliran mereka, seperti idiologi Wahabi, Syi'ah atau lainnya. Mereka tidak akan mendirikan Khilafah Islamiyah kecuali paham dan idiologi mereka juga menjadi paham dan idiologi resmi pemerintah. Artinya, ketika khilafah berhasil didirikan, bukan mustahil mereka memberhangus kelompok ASWAJA yang bertentangan dengan paham mereka, seperti sejarah kekejaman Pemerintahan Arab Saudi dengan paham Wahhabinya.

Inilah yang menjadi alasan fundamental kenapa ASWAJA (NU) menentang setiap gerakan dan sekte yang mengusung Khilafah Islamiyah di Indonesia dan merongrong NKRI yang beridiolgi Pancasila. Dengan kenyakinan bahwa sila pertama yang mencerminkan tauhid Islam telah menjiwai sila-sila lain dalam Pancasila, dan mempertimbangkan kenyataan rakyat bangsa Indonesia yang plural dalam ras, suku dan agama, serta mempertimbangkan resiko ancaman integritas bangsa, maka ASWAJA (NU) menyatakan: bahwa NKRI dan Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya membentuk negara di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti ASWAJA (NU) anti khilafah, melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi idiologi ASWAJA dan menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus diprioritaskan dari sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai kaidah fiqh:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindari kekacauan lebih diprioritaskan dari mengupayakan kemaslahatan

Apabila sejauh ini dikenal tiga model hubungan agama-negara, yaitu hubungan intergasi (agama dan negara adalah satu kesatuan); hubungan sekuler (pemisahan peran agama dalam pemerintahan); dan hubungan simbiosis (agama-negara terpisah namun saling membutuhkan dan mengisi secara timbal-balik), maka model ketiga inilah yang menjadi pilihan ASWAJA dalam memandang hubungan agama dan negara.Agama tidak harus diformalkan sebagai sebuah sistem dan bentuk suatu negara, namun agama juga tidak boleh diceraikan dari intervensi peran politik.

Pandangan politik ASWAJA seperti ini, tidak bisa dipertentangkan dengan muatan surat Alma'idah ayat 44, 45 dan 47, yang memvonis kafir, dhalim dan fasiq bagi orang yang tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Vonis kafir, dhalim dan fasiq dalam tiga ayat tersebut meski berlaku bagi umat Islam atau ahli alkitab (non Muslam), namun bila dilakukan orang mukmin, menurut Thawus: “kekafiran itu tidak mengeluarkannya dari agama“.Dan menurut Atha'; “kekafiran di bawah kekafiran, kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan". Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa Muslim yang tidak memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah menjadi dua. Ibn Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan orang yang membenarkannya namun tidak menerapkannya, maka dia dhalim atau fasiq”.

Dari sini bisa dipahami bahwa, apabila tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah lantaran ketidaksanggupan, atau karena justeru akan menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid), seperti ancaman disintegrasi bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis kafir, dhalim dan fasiq tidak bisa dijatuhkan kepada umat Islam.

Catatan Kaki:
[1]Syaikh Abi Al-Fadlal, Syarh Alkawâkib Allamâ’ah hlm. 24-25 
[2] Alfiqh Alwâdlih min Alkitab wa Assunnah, hlm. 2 
[3] Yusuf bin Ismail Annabhani, Syawahid Alhaqq, hlm. 19


Ditulis oleh salah satu staf pengajar Ponpes LIRBOYO Jawa Timur