Minggu, 13 Januari 2013

KONTROVERSI TENTANG WAHDATUL WUJUD:


  Bismillahir rohmanir rohim.
Segala puji bagi Allah swt. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah keharibaan baginda Nabi Muhammad shollallahu alaihi wa sallam, para sahabat, dan keluarganya.

Istilah "Wahdatul-Wujud" sering diperdebatkan oleh para cendekiawan muslim. Ia sering dikaitkan dengan golongan sufi / tasawwuf, bahkan  golongan tawassuf dianggap sesat oleh sebagian orang karena masalah ini.

            Ada golongan yang menganggap sesat kaum sufi secara mutlak karena Wahdatul-wujud dan ada juga yang tersesat dengan kesalahpahaman terhadap makna dari Wahdatul-wujud. Namun, di antara kedua golongan tersebut, golongan yang benar adalah golongan yang menghayati Wahdatul-wujud dengan makna yang sebenarnya.

            Adapun orang yang tidak tahu tentang makna yang benar dari kaum sufi dan para wali yang arif tentang wahdatul-wujud, bersikap menolak wahdatul-wujud secara mutlak, dengan memukul sama rata, antara pemahaman yang benar tentang wahdatul-wujud yang dimaksud oleh para sufi yang sebenarnya, dengan pemahaman yang keliru tentang wahdatul-wujud yang ditampilkan oleh orang-orang yang sesat, namun mengatas namakan  sufi dan tasawwuf, padahal kaum sufi dan ahli tasawwuf yang sejati, berlepas diri dari  mereka.



FENOMENA MENGKRITIK KAUM SUFI ADALAH BUAH DARI KEBODOHAN SESEORANG TENTANG MEREKA (KAUM SUFI)

            Orang-orang yang mengkritik para sufi secara umum, baik dari kalangan awam maupun dari kalangan ulama', sebenarnya tidak mengkritik mereka melainkan hanya karena ketidaktahuan terhadap makna-makna yang coba disampaikan oleh para sufi tersebut. Mereka menuduh kaum sufi dengan berbagai tuduhan karena mereka tidak pernah berinteraksi langsung dengan para sufi dan meminta penjelasan terhadap perkataan para sufi tersebut.

            Namun, banyak dari kalangan ulama' yang pada awalnya mengkritik para sufi, namun setelah bersahabat dengan para sufi, maka mereka kembali mengakui kebenaran yang disampaikan oleh golongan sufi.

            Imam Ahmad bin Hanbal r.a., sebelum mengenal golongan sufi, melarang putranya bersahabat dengan mereka. Namun, setelah beliau mengenal lebih dekat dengan Syekh Abu Hamzah Al-Baghdadi r.a., seorang sufi, beliau berkata kepada anaknya: “Wahai anakku. Hendaklah kamu duduk bersama-sama dengan kaum tersebut (sufi). Sesungguhnya ilmu mereka, muroqobah mereka, ketakutan mereka kepada Allah s.w.t., zuhud mereka dan semangat mereka, lebih banyak dari kita.” (Tanwir Al-Qulub M/S: 405).

            Begitu juga dengan Sultanul-Ulama' Imam Izzuddin bin Abdul Salam r.a., sebelum bertemu dengan Syekh Abil Hasan As-Syadzali r.a., beliau adalah orang yang paling lantang mengkritik kaum sufi dengan berkata:

            "Adakah jalan lain selain dari Al-Qur'an dan As-Sunnah?" 

            Namun, setelah peristiwa yang terjadi di Mansurah, Mesir, di mana Syekh Izzuddin bin Abdul Salam r.a., Syekh Makinuddin Al-Asmar r.a. dan Syekh Taqiyuddin ibn Daqiq Al-'Id r.a. bertemu dengan Syekh Abul Hasan As-Syadzali r.a., maka mereka (termasuklah Imam Izzuddin bin Abdul Salam) mengakui kebenaran kaum sufi. Peristiwa ini diceritakan sendiri oleh Syekh Makinuddin Al-Asmar yang dikemudian hari menjadi pendukung manhaj tarbiah Imam As-Syadzali r.a..

            Kisahnya, di mana suatu saat mereka berkumpul di Mansurah, lalu mereka membaca kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah. Setiap dari mereka mengulas kitab tersebut dalam majlis itu. Tanpa disangka-sangka, Imam Abul Hasan As-Syadzali r.a. berjalan melewati pondokan mereka, kemudian mereka memanggil Imam Abul Hasan As-Syadzali r.a. supaya mengulas kitab tersebut kepada mereka.

            Imam Abul Hasan As-Syadzali r.a. lalu berkata:

            "Kalian adalah ulama-ulama besar. Kalian adalah penghulu-penghulu ilmu zaman ini. Bukankah kalian sudah mengulasnya? Maka, apakah masih layak untuk orang seperti saya ini mengulasnya untuk kalian?

            Namun, mereka membujuk Imam As-Syadzali r.a. agar bersedia mengulasnya, kemudian Imam As-Syadzali r.a. mengulasnya dengan ulasan sufi yang mendalam. Akhirnya, Imam Izzuddin Abdus Salam berlari keluar pondokan lalu menyeru:

            "Wahai sekalian manusia. Marilah bersama-sama kami. Marilah mendengar ulasan-ulasan yang memberi penawar bagi hati." (Muqoddimah buku Anwar An-Nabi  m/s 47 oleh Syekh  Ahmad Farid Al-Mazidi)

            Begitu juga halnya yang terjadi pada Imam Ibn 'Atho'illah As-Sakandari r.a., yang merupakan ulama' Al-Azhar di zaman beliau, yang pada awalnya menolak kaum sufi. Namun, setelah bertemu dengan Syekh Abul Abas Al-Mursi r.a. (murid Imam Abul Hasan As As-Syadzali r.a.), beliau akhirnya menjadi orang yang paling banyak berkhidmat dalam menyebarkan ilmu kaum sufi yang benar. ( Lato'if Al-Minan oleh Imam As-Sakandari r.a.)

            Imam As-Sya'rani juga mengingkari kaum sufi secara umum, sebelum bertemu dengan Syekh Ali Al-Khawwas r.a.. Setelah berguru dengan Syekh Al-Khawwas r.a., Imam As-Sya'rani r.a. juga menjadi ulama yang banyak berkhidmat dalam menyebarkan dan mempertahankan ajaran sufi yang benar.

            Banyak para ulama' yang mengalami hal demikian, yang pada awalnya mengingkari para sufi secara umum, akhirnya mendukung kaum sufi, karena menemukan kebenaran yang disampaikan oleh kaum sufi tersebut.

            Oleh karena itu, jika seseorang tidak memahami istilah-istilah yang digunakan oleh para sufi, maka janganlah cepat latah dan tergesa-gesa menyalahkan dan menghukum sesat suatu perkara. Karena hal ini bisa membawa pada berburuk sangka.

            Sekurang-kurangnya, kembalikan pada kaidah yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi r.a. dalam menghadapi hal-hal yang melibatkan kaum sufi dan para wali Allah s.w.t. Imam An-Nawawi r.a. berkata tentang hal yang sering dipermasalahkan oleh sebagian pihak terhadap para sufi:

            "Jika kamu mendengar ucapan-ucapan mereka (yang samar maknanya), maka ta'wilkanlah ia dengan tujuh puluh ta'wilan (untuk baik sangka kepada mereka)" (Syarh Al-Muhadzdzab)

            Imam Al-Mujtahid Tajuddin As-Subki r.a. berkata dalam kitab Ma'id An-Ni'am:

            "Ada dari kalangan fuqoha' yang walaupun secara lahiriyah menjaga syariat, mengamalkan perintah dan meninggalkan laranganNya, namun malangnya, mereka bersikap meremehkan fuqoro' (kaum sufi) dan ahli tasawwuf dengan menafikan kebaikan pada mereka. Mereka mencela kaum sufi hanya karena mendengar perkara-perkara yang disebutkan tentang kaum sufi, padahal kabar dari pendengaran berbeda di kalangan manusia. Orang yang meremehkan kaum sufi sebenarnya tidak mengetahui tentang mereka. Wajib bagi kita untuk menyerahkan (tafwidl) keadaan mereka kepada mereka sendiri. Kita tidak boleh menyalahkan mereka semata-mata ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut para sufi, yang secara lahiriyah menyalahi. Jika boleh mentawil perkataan mereka, maka lakukanlah. Tawilkan dengan tawilan yang baik, terutama perkataan mereka yang diakui sebagai kepercayaan. Sesungguhnya, saya (Imam As-Subki r.a.) tidak menjumpai seorang faqih pun yang mengingkari kaum sufi dan mencela mereka, melainkan Allah s.w.t. membinasakannya…Merekalah ahli Allah s.w.t…".  

            Inilah perkataan Imam As-Subki r.a., (seperti yang dinukil oleh Imam As-Suyuti dalam ta'yiiad al-haqiqah al-aliyah) seorang ulama' fiqh madzhab Syafi'i, yang mana beliau bukanlah dari kalangan ahli sufi, tetapi tetap mengakui kebenaran dan kemuliaan kaum sufi, karena adil dalam menilai kaum sufi secara menyeluruh.

Pemahaman  Yang Benar Tentang Wahdatul-Wujud Menurut Kaum Sufi

Di sini, saya coba menyentuh secara khusus berkaitan dengan masalah Wahdatul-wujud, secara adil dengan merujuk kitab-kitab para ulama', dalam mengurai kesalahpahaman tentang masalah ini.

            Pembahasan mengenai "Wahdatul-wujud" ini, ada dua golongan yang memahaminya secara berbeda yaitu:
Pertama: Pemahaman yang Salah Tentang Wahdatul-Wujud:
            Golongan yang memahami "Wahdatul-wujud" dengan makna: Allah dan makhluk adalah satu (manunggal). yaitu, makhluk bersatu dengan Allah. Mereka memahami Wahdatul-wujud sebagai ma’na hulul (Allah bergabung dalam makhluk) dan ittihad (Allah dan makhluk adalah menyatu dzatNya).

            Hasil dari kesalahpahaman berkenaan Wahdatul wujud ini, melahirkan dua golongan:

a)      Golongan yang menentang, lalu menghukum sesat orang-orang yang berpegang dengan Wahdatul-wujud. Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah dan ulama yang sepaham tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme. Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj dan para sufi lainnya, tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud dengan makna kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq. Wahdatul Wujud dengan makna pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosofis atas wacana-wacana Al-Hallaj, Ibnu Araby, Syekh Siti Jenar dan para sufi lainnya. Yang benar adalah Wahdatul Wujud dengan makna Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.

Golongan ini benar dari satu sudut pandang, tetapi salah dari sudut pandang yang lain. Mereka benar dari sudut pandang karena menolak Wahdatul-wujud dengan makna hulul dan ittihad , karena hulul dan ittihad adalah kesesatan yang nyata. Namun, mereka salah dari sudut memvonis sesat seluruh golongan yang berpegang pada Wahdatul-wujud , karena mayoritas para sufi dan ahli tasawwuf, yang membicarakan tentang Wahdatul-wujud, tidak memahaminya dengan pemahaman yang keliru, yaitu dengan makna hulul dan ittihad.

b)      Golongan yang berpegang pada Wahdatul-wujud dengan makna hulul dan ittihad, lalu mereka ini memproklamirkan ketuhanan pada diri mereka sendiri dengan mengaku tuhan dan sebagainya. Mereka adalah golongan yang sesat lagi menyesatkan. Mereka lebih suka disebut sebagai golongan hakikat (ciri-ciri mereka adalah tidak mau menempuh syariat, seperti menjalankan sholat hanya dengan niat semata, tanpa melakukan gerakan sholat, berdiri, ruku’, sujud dst). Dan sejatinya, golongan sufi dan ahli tasawwuf, yang bersandarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sangat menentang golongan ini. Di Jawa sendiri pemahaman seperti ini diadopsi oleh golongan yang menisbatkan dirinya kepada pengikut Syekh Siti Jenar dengan ajarannya “Manunggaling Kawulo Gusti”, mereka benar-benar meyakini Wahdatul wujud dengan makna hulul / ittihad (manunggal). Padahal Syekh Siti Jenar sendiri berlepas diri dari anggapan seperti itu. Seseorang yang mengambil pemahaman wahdatul wujud bukan dari kaum sufi, maka akan melahirkan kesalahpahaman seperti yang terjadi pada golongan ini.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya yang memahami wahdatul wujud dengan makna hulul/ ittihad (manunggal), adalah orang-orang sesat yang tidak tahu makna sebenarnya akan tetapi mereka menisbatkan diri pada kaum sufi, sementara kaum sufi yang sebenarnya juga menentang pemahaman seperti ini, ikut kena getahnya dan mendapatkan vonis sesat.



 Kedua: Pemahaman yang Benar Tentang Wahdatul-Wujud

            Yaitu: Seluruh mahluk yang wujud (lebih tepatnya maujud), pada mulanya tidak wujud (‘adam). Mereka akhirnya wujud karena Allah s.w.t. mewujudkan mereka. Maka, seluruh makhluk pada hakikatnya wujud dengan sebab wujudnya Allah s.w.t., karena tanpa wujudnya Allah s.w.t, tanpa izin Allah s.w.t., niscaya tiada satu mahluk pun yang wujud ataupun meneruskan ke-wujud-annya.

            Inilah maksud sebenarnya Wahdatul-wujud yang dihayati oleh orang-orang arif dari kalangan para sufi. Mereka menghayati dan merasakan (dzauq), ke-wujud-an mereka, bahkan seluruh ke-wujud-an makhluk Allah s.w.t., adalah dari Allah s.w.t., yang telah menciptakan mereka dari tiada menjadi ada, dari tidak wujud (‘adam) menjadi wujud. Jadi, mereka tidak merasakan wujud mereka secara mandiri (mustaqil), tetapi ke-wujud-an mereka denganNya (dengan kekuasaan dan  izinNya).

            Dengan pemahaman ini, tak seorang pun yang berakidah lurus, yang mampu menafikannya. Kalau ada orang yang menafikan Wahdatul-wujud dengan makna seperti ini, maka pada hakikatnya dialah orang yang sesat, karena tak ada yang wujud secara mustaqil (tersendiri), kecuali Allah s.w.t dan hanya Dia saja yang bersifat dengan qiyamuhu binafsihi (berdiri dengan dzatNya sendiri) sedangkan seluruh makhluk berdiri dengan Allah s.w.t. (dengan kuasa dan izin Allah s.w.t.).

            Orang-orang yang mengingkari bahkan menganggap sesat golongan arif billah / para sufi (seperti Syekh  Ibn 'Arabi, Syekh Al-Jili, Syekh Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar dll) yang mengetengahkan Wahdatul-wujud, hanya karena tidak tahu dengan konsep Wahdatul-wujud di sisi para sufi itu sendiri, lalu salah paham dengan memahami Wahdatul-wujud sebagai hulul dan ittihad. Maka, mereka sebenarnya bermain-main dengan khayalan/anggapan mereka sendiri terhadap kaum sufi, padahal kaum sufi berlepas diri dari pengingkaran mereka dan khayalan orang-orang yang mengingkarinya.

            Hakikat Wahdatul-wujud ialah, apabila seseorang sudah menghayati rasa ke-wujud-an dirinya dan seluruh perbuatan dirinya serta semua yang terjadi dialam ini adalah dari Allah s.w.t. Maka, seluruh gerak-gerik makhluk, termasuk perbuatan manusia, sebenarnya dengan Allah s.w.t, ( dengan wujud, kekuasaan dan izin Allah s.w.t..) Kalau hal ini dianggap bukan aqidah Islam, lalu yang seperti apakah aqidah Islam itu? Apakah setiap makhluk punya kuasa terhadap dirinya sendiri secara mutlak? Tidak sama sekali!

            Maka, siapakah yang sesat wahai orang-orang yang menuduh sesat? Atau anda tidak paham apa yang anda sesatkan itu sendiri? Na'uzubillah!

            Wahdatul-wujud ialah suatu tingkat penyaksian dengan mata hati, dalam diri seseorang, yang merasakan diri mereka dan seluruh alam ini sebenarnya diatur oleh Allah s.w.t.. Manusia terutama diri mereka sendiri, bergerak dan beramal dengan izin Allah s.w.t, yang memberikan mereka kuasa untuk memilih, tetapi bukan dengan kuasa mutlak, cuma dengan kuasa majazi, yang pada hakikatnya atas izin Allah s.w.t. Tanpa izin Allah s.w.t., bagaimana manusia itu sendiri mampu memilih dan berkehendak? Maka, kehendak dalam diri manusia juga dari kehendak Allah s.w.t. dan dengan izin Allah s.w.t pula.

            Apa yang salah dengan penyaksian ini? Inilah tauhid, demi Allah, Tuhan yang menurunkan Al-Qur'an sebagai bukti yang nyata.

            Seseorang yang lalai dengan dunia, dan bergelimang nafsu syahwat, pasti tidak merasakan hal ini, karena perasaan dirinya sendirilah yang berkuasa dan berkehendak secara bebas/mutlak, dalam kehidupannya. Ini buah kelalain mereka dengan diri mereka sendiri yang telah terhijab dari Allah s.w.t tatkala sibuk dengan menuruti hawa nafsu duniawiyah. Namun, dari sudut akal sendiri, Wahdatul-wujud suatu perkara yang bersandarkan atas aqidah Islam yang kokoh.

Wahdatul-Wujud : Proses Penghayatan Tauhid- (Afal)

            Jika kita pelajari kitab-kitab ahlus sunnah wal jamaah, sudah pasti kita akan dapati, pembahasan tentang sifat-sifat yang wajib bagi Allah s.w.t, sifat-sifat yang mustahil bagi Allah s.w.t dan yang jaiz bagi Allah s.w.t. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah swt, kita akan temukan tauhid af'aal, yaitu setiap perbuatan yang  keluar dari makhluk, pada hakikatnya dari Allah s.w.t..

            Seluruh alam ini bergerak di bawah kekuasaan Allah s.w.t. Bahkan, seluruh makhluk wujud dengan penciptaan Allah s.w.t.. Semua makhluk meneruskan ke-wujud-an mereka dengan penjagaan Allah s.w.t. melalui nikmat imdaad (pertolongan Allah s.w.t.). Inilah hakikat yang tidak dapat dinafikan oleh setiap orang Islam. Maka, seluruh makhluk adalah dari perbuatan Allah s.w.t. yang mana perbuatan tersebut dari sifat qudrah Allah s.w.t. Penciptaan dan penjagaan Allah s.w.t, dikenali dengan af'al Allah s.w.t (perbuatan-perbuatan Allah s.w.t.).

            Tak ada yang bergerak di dalam kerajaan Allah s.w.t, tanpa kehendakNya. Inilah hakikat sifat iradah dan qudrah Allah s.w.t.. Dari sinilah timbulnya tauhid af'al, di mana segala yang terjadi di alam ini,atas kehendak Allah s.w.t. dan dengan kekuasaanNya.

            Wahdatul-wujud pula yaitu, suatu penyaksian dalam lubuk hati terdalam manusia (sirr) terhadap tauhid af'al pada permulaannya (seterusnya kepada tauhid sifat dan tauhid zat), dan penghayatan kepada makna tersebut dalam seluruh kehidupannya. Hal ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang sudah meleburkan hawa nafsunya yang senantiasa mengajak kepada kejahatan, sehingga nafsu itu tenang dalam ketaatan kepadaNya, dan tenang dengan merasakan kebersamaanNya (ma’iyyah) dalam ketaatan tersebut (mutma'innah).

            Secara teori, seseorang yang lalai dari mengingat Allah s.w.t  pun bisa menghafal sifat dua puluh yang wajib bagi Allah s.w.t tersebut seperti qudrah (kekuasaan), iradah (kehendak) dan sifat-sifat lain bagi Allah s.w.t, namun dia tidak mampu merasakan dalam bentuk penghayatan disetiap sendi kehidupannya. Oleh karena itulah, banyak kita jumpai dari kalangan orang-orang Islam itu sendiri, yang menghafal sifat-sifat bagi Allah s.w.t., lalu mengetahui bahwasanya Allah s.w.t. itu wujud, Maha Berkuasa dan sebagainya, namun masih berani mendurhakaiNya? Bagaimanakah seseorang yang mengetahui Allah s.w.t. itu wujud dan Maha Berkuasa, pada saat yang sama berani durhaka kepada Allah s.w.t.? Bagaimana mungkin seseorang masih berani durhaka kepada Allah s.w.t. sedangkan dia tahu bahwa seluruh kehidupan dan energinya dari Allah s.w.t.? Bagaimana seseorang sanggup mengunakan energi dan upayanya untuk mendurhakai Allah s.w.t. sedangkan dia tahu bahwa semua energi, jiwa, raga dan segalanya adalah dari  Allah s.w.t.?

            Persoalan ini kembali kepada penghayatan seseorang, terhadap sifat-sifat Allah s.w.t. Hal ini (ketaatan mutlak kepadaNya) tidak akan bisa dicapai hanya dengan cara menghafal sifat-sifat Allah s.w.t. semata, akan tetapi perlu proses perjuangan melawan hawa nafsu (mujahadah An-Nafs).

            Proses menuju penghayatan terhadap ke-wujud-an Allah s.w.t. dalam kehidupan seseorang manusia, dimulai dengan proses mujahadah an-nafs (memerangi hawa nafsu) dengan melakukan ketaatan kepadaNya dan menjauhi laranganNya, kemudian diiringi dengan proses dzikir yang terus menerus (mudawamah) sehingga asma-asma Allah s.w.t tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk penghayatan dalam hati hamba tersebut.

            Proses mengukir nama Allah s.w.t dalam hati seseorang melalui dzikir yang diambil secara talqin (baiat thoriqoh) dari seorang mursyid yang kamil, yang bersambung sanadnya kepada Rasulullah s.a.w., merupakan suatu proses perjalanan kerohanian ke arah menghayati ke-wujud-an Allah s.w.t. di balik semua kehidupan hamba tersebut.

            Dengan dzikir sirri secara terus-menerus dalam hati-dengan izin Allah s.w.t.-, seseorang akan lebur dari merasakan wujud dirinya sendiri. Hal ini dikenali sebagai fana' (lebur), yaitu penyaksian hati yang  tenggelam dalam menyaksikan ke-wujud-an Allah s.w.t. sehingga tidak menyadari lagi keadaan dirinya sendiri. Ini suatu keadaan di mana seseorang sibuk dalam menyaksikan ke-wujud-an Allah swt sehingga tidak menyadari lagi kewujudan dirinya. Dia tenggelam dalam musyahadah Allah s.w.t. dan tidak lagi diliputi apapun melainkan Allah s.w.t.. Hatinya selalu fokus kepada Allah s.w.t..

            Ada sebagian kalangan dari mereka yang fana' ini terus dikekalkan dalam keadaan fana' oleh Allah s.w.t. dan ada pula yang dikembalikan kesadarannya sehingga dia menyadari kembali wujud dirinya pada saat yang  sama menyaksikan kewujudan Allah s.w.t yang Maha Esa dalam bentuk penghayatan yang mudawam /kontinyu.

            Namun, mereka yang dikembalikan pada kesadaran diri disaat yang sama menyaksikan ke-wujud-an Allah s.w.t di  balik wujudnya alam ini, lalu menghayati bahwa seluruh alam ini, termasuk dirinya sendiri, merupakan ke-wujud-an dengan Allah s.w.t. Yaitu, dia menghayati dan menyaksikan dengan mata hatinya, secara tahqiq, bahwa seluruh makhluk wujud dengan pengaturan, kekuasaan dan izin Allah s.w.t.. Disaat seperti ini, hamba tersebut baqo' (kekal) dengan keabadian Allah s.w.t. karena selalu menyaksikan ke-wujud-an Allah s.w.t. yang Maha Kekal dalam mata hatinya.

            Hatinya kekal dalam penyaksian kepada Allah s.w.t. dan jasadnya bersama dengan makhluk. Hatinya bersama dengan Allah s.w.t. dan menyaksikan ke-tuhanan Allah s.w.t, pada saat yang sama, jasadnya dalam kehambaan kepadaNya, dengan melaksanakan seluruh syariatNya.

            Penyaksian terhadap hakikat bahwa segala makhluk wujud dengan kekuasaan Allah s.w.t. dan terus wujud dalam kekuasaanNya inilah, yang dikenali di sisi kaum sufi sebagai Wahdatul-wujud (kesatuan-wujud), bukan seperti prasangka orang-orang yang mengingkarinya. Hakikatnya, Wahdatul-wujud dalam arti kata yang sebenarnya adalah wihdatus-syuhud, yaitu menyaksikan hanya Allah s.w.t. saja yang wujud secara mustaqil (mandiri) dan hakiki, adapun selain dariNya, wujud dengan Allah s.w.t. (dengan kekuasaan dan izin Allah swt) bukan dengan diri mereka sendiri!

Dalil Wahdatul-Wujud Dalam Al-Qur'an:

            Firman Allah s.w.t.:

"Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Surah Ghafir/Mu'min: 16)

            Maksudnya, seluruh yang wujud di bawah kekuasaanNya. Segala yang wujud tidak akan wujud tanpa izinNya. Maka, wujud yang hakiki, yang berdiri dengan mandiri hanyalah Allah s.w.t. Adapun selain dari Allah s.w.t., pada hakikatnya tidak wujud ('adam). Mereka hanya wujud setelah Allah s.w.t. menciptakan mereka. Maka, kewujudan mereka sebenarnya dengan qudrat dan iradah Allah s.w.t..

            Kesatuan penyaksian ini juga sebagaimana dalam firman Allah s.w.t.:


Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajh (zat) Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Surah Al-Baqarah :115)

Dalil Wahdatul-Wujud dalam hadith:

            Rasulullah s.a.w. bersabda:

            "Sesungguhnya Allah s.w.t. itu wujud, dan tiada yang wujud bersamaNya. Allah s.w.t. itu wujud dalam keesaan, tanpa bersama dengan selainNya" (Hadith riwayat Al-Bukhari).

            Sabda Nabi s.a.w. yang bermaksud:

            "Sebenar-benar perkataan yang pernah diucapkan oleh sya'ir Arab adalah perkataan Labid iaitu:

            Ketahuilah sesungguhnya semua hal selain Allah ialah batil" (Hadith riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

            Maksudnya, setiap sesuatu selain Allah s.w.t. pada hakikatnya tidak ada. Semua makhluk wujud dengan kekuasaan dan pertolongan Allah s.w.t..

Penjelasan Ulama'-ulama' Sufi tentang Wahdatul-Wujud:

            Imam Abdul Ghani An-Nablusi r.a. (1143 H) berkata dalam kitabnya Idhoul Maqsud, min ma'na wihdatil-wujud:

            "Sesungguhnya, yang dimaksud Wahdatul-wujud bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan perkataan para ulama' Islam, bahkan maksud sebenarnya dari  Wahdatul-wujud, pada hakikatnya disepakati oleh seluruh orang-orang khawas dan awam. Ia juga sesuatu yang perlu diketahui oleh setiap muslim, dan tidak boleh diingkari oleh setiap orang yang beriman. Tak dapat digambarkan bahwa, ada orang yang berakal bisa mengingkari Wahdatul-wujud dengan makna ini. 
  
            "Sesungguhnya, seluruh alam ini, walaupun berbeda jenis, sifat, bentuk dan rupanya, sebenarnya wujud dari ketiadaannya ('adam) dengan ke-wujud-an Allah s.w.t., bukan dengan diri mereka sendiri. Bahkan, seluruh makhluk yang wujud, terus terpelihara wujudnya dengan ke-wujud-an Allah s.w.t., bukan dengan diri mereka sendiri." 

            Imam Mustofa Al-Bakri berkata dalam kitab beliau Al-Maurid Al-Azb:

            "(Wahdatul-wujud ialah:) dengan wujud Allah s.w.t. itulah, seluruh yang wujud terus wujud. Dengan sentiasa menyaksikanNyalah, ahli syuhud terus meningkat. Bahwasanya Dialah yang mendirikan langit dan bumi, sedangkan seluruh makhluk berdiri denganNya (dengan kekuasaanNya) secara hakikinya." 

            Jelaslah bahwasanya, Wahdatul-wujud di sisi kaum sufi dan arif biLlah, merupakan suatu penghayatan dan penyaksian terhadap ke-wujud-an Allah s.w.t. yang wajibul-wujud (wajib wujudNya), dan seluruh makhluk yang wujud, tidak akan wujud kecuali denganNya (izinNya).

            Allah lah yang menciptakan segala makhluk dari tiada, ke-wujud-an makhluk yang mana mereka wujud dengan hal itu, tidak datang dari diri mereka sendiri, pada hakikatnya merupakan dari ke-wujud-an Allah s.w.t. jua. Penyaksian hati terhadap hal demikianlah yang dikenal dengan Wahdatul-wujud atau wahdatus-syuhud.

            Seluruh para sufi yang kamil memahami Wahdatul-wujud dengan makna wahdatus-syuhud, bukan dengan makna yang disalahpahami oleh orang-orang yang sesat seperti hulul dan ittihad, yang diingkari pula oleh orang-orang yang bodoh dengan makna yang sebenarnya Wahdatul-wujud ini, atas seluruh kaum sufi.

            Syekh Ahmad Farid Al-Mazidi dalam muqoddimah Anwar An-Nabi menegaskan:
  
            "Maknanya (makna wahdatul-wujud): Bahwasanya, wujud pada hakikatnya satu saja, yaitu bagi Allah s.w.t. semata-mata dan tiada sekutu denganNya dalam hakikat wujud (qadim) tersebut. Maka, Dialah yang wujud secara mutlak (wajibul-wujud). Adapun ke-wujud-an seluruh makhluk adalah karena bersandar kepadaNya (kepada kekuasaanNya) dan kelangsungan ke-wujud-an makhluk tersebut karena pemeliharaanNya…Maka, ke-wujud-an makhluk itu bersandarkan pada ke-wujud-an yang hanya milik Allah s.w.t., bukan ke-wujud-an lain, karena tiada yang wujud dengan sendirinya (qiyamuhu binafsihi) melainkan Allah s.w.t. Sesungguhnya, wujud makhluk bukan dari dzat mereka sendiri, dan tidak dapat digambarkan bahwa seluruh makhluk berdiri dengan diri mereka sendiri…" 

            Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali r.a. sendiri berbicara tentang maksud wahdatul-wujud ini walaupun tanpa menggunakan lafal tersebut, takkala mensyarahkan perkataan Labid dalam hadits dengan berkata dalam kitab (Al-Ihya' kitabu At-Tauhid):

            "Yaitu, setiap makhluk tidak berdiri dengan dirinya sendiri. Ia berdiri dengan lainnya (yaitu berdiri dengan kekuasaan Allah s.w.t.). Ia (makhluk) dari sudut pandang dirinya sendiri adalah batil. Karena, hakikatnya (hakikat makhluk) itu, dengan selainnya (yaitu dengan hakikat Allah s.w.t.),bukan dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, tiada yang hak (benar) pada hakikatnya kecuali Allah s.w.t. yang Maha Hidup lagi Maha Mengatur, yang tiada menyerupai sesuatu. Dialah yang berdiri dengan dzatNya sendiri, sedangkan selain dariNya, berdiri dengan kekuasaanNya. Maka, Dialah Al-Haq dan selain daripadaNya adalah batil (pada hakikatnya)."  

            Imam Al-Ghazali r.a. berkata lagi tentang penyaksian wahdatul-wujud dalam pandangan para sufi (Al-Ihya' kitabu As-Syauq):

            "Barang siapa yang tajam pandangan mata hatinya, maka keadaannya akan menjadi seimbang, di mana dia tidak lagi melihat selain Allah s.w.t. Dia tidak lagi mengenal selain Allah s.w.t. (tidak terfokus kepada yang lain - fana'). Maka, ketika dia mengetahui (bukan dengan pengetahuan akal semata-mata, tapi dengan penghayatan) bahwa tiada yang wujud kecuali Allah s.w.t.. (Dia mengetahui) perbuatan dirinya merupakan kesan (atsar) dari kekuasanNya, yang wujud dariNya. Maka, tiada wujud bagi perbuatan-perbuatannya kalau tanpaNya. Sesungguhnya wujud itu milik Allah s.w.t. semata-mata, yang denganNya lah, semua makhluk itu wujud. Barang siapa yang dalam keadaan ini, tidak akan melihat satupun perbuatan, melainkan dia melihat Penciptanya yang hakiki (yaitu Allah s.w.t.)…" .
(harap dibaca berulang-ulang biar paham, saya sendiri agak pusing juga menerjemahkannya. Penulis-red)


Seseorang akan lenyap (fana’) dalam menyaksikan keagungan ke-wujud-an Allah s.w.t. sehingga tidak lagi menyaksikan ke-wujud-an diri sendiri dan ke-wujud-an sekalian makhluk, dalam penyaksian terhadap ke-wujud-an Allah s.w.t. tersebut.
Demikianlah musyahadah para shiddiiqin yang dinamakan sebagai fana' dalam tauhid. Inilah pemahaman para penghulu sufi dan ahli tasawwuf yang benar, berkenaan dengan wahdatul-wujud. Siapakah yang merasa dirinya lebih berilmu dari  Hujjatul-Islam Imam Al-Ghazali r.a. takkala berani menyesatkan kaum sufi hanya karena tidak mampu memahami maknanya dengan benar?

Golongan Sufi yang Menetapkan Wahdatul-Wujud, Juga Menolak Hulul dan Ittihad 


            Tidak dapat dipungkiri bahwa, ada sebagian kalangan manusia yang memahami makna Wahdatul-wujud ini dengan makna yang keliru dan sesat, yaitu dengan makna hulul (Tuhan menempati makhluk) dan Ittihad (Tuhan bergabung dengan makhluk).

            Akhirnya, mereka mengakui sudah (wushul) sampai kepada Allah s.w.t. dan mencapai derajat makrifat, bahkan ada yang mengklaim dirinya sebagai tuhan, karena tuhan wujud dalam setiap makhluk. Hasil dari pengakuan ini, mereka merasa diri mereka tidak perlu lagi melakukan syariat dan ketaatan karena mereka adalah tuhan, atau tuhan wujud dalam diri mereka, atau sudah sampai kehadirat tuhan. Ini suatu kesesatan yang nyata, yang diingkari sendiri oleh para sufi.

            Para ulama' sufi seperti Imam Ibn 'Arabi r.a., Imam Abdul Karim Al-Jili r.a., Syekh Ibn Al-Faridhi r.a., Syekh Ali ibn Wafa dan sebagainya, berlepas diri dari pemahaman yang sesat ini, bahkan turut membantah kesesatan ini secara keras.

            Imam Ibn 'Arabi berkata dalam Al-Futuhat pada bab Al-Isra':

            "Barang siapa yang mengaku hulul, berarti dia telah sesat. Ini karena, orang yang berkata tentang hulul itu mengidap penyakit yang tidak dapat diobati. Barang siapa yang membedakan antara diri kamu dengan dzatNya, maka kamu telah menetapkan dirimu dan dzatNya. Tidakkah kamu mendengar sabda Nabi s.a.w. yang berbunyi: "Maka Aku jadi pendengarannya yang Dia mendengar dengannya". Dia menetapkan dirimu dengan menunjukkan dirimu dalam hadits tersebut. Barang siapa yang mengaku ittihad, berarti orang yang athies, seperti yang mendakwa hulul juga, merupakan orang yang dungu dan melampaui batas. Ini karena dia menisbahkan hal yang mustahil. Barang siapa yang membedakan dirinya dengan Allah s.w.t., maka dialah yang benar." 

            Imam Ibn 'Arabi r.a. juga berkata lagi dalam kitab Aqidah Al-Wusto:

            "Maha Suci Allah s.w.t. dari menempati sesuatu yang baru, atau sesuatu yang baru tersebut menempatiNya" 

            Imam Al-Ghazali r.a. juga menolak keras pemahaman Hulul dan Ittihad ini dengan berkata:

            "Hukuman pancung pada seorang dari mereka (yang mengaku hulul dan ittihad) lebih baik daripada membunuh seratus orang kafir karena madhorotnya lebih berbahaya kepada agama. " 

            Imam An-Nablusi r.a. berkata dalam kitab Idhohul Maqsud:

            "Adapun orang-orang jahil, zindiq dan mulhid (athies) yang memahami wahdatul-wujud dengan makna bahwa wujud mereka yang baru pada hakikatnya merupakan wujudnya Allah s.w.t., dan dzat mereka pada hakikatnya adalah dzat Allah s.w.t., sehingga mengaku gugurlah hukum-hukum syariat dari mereka, maka menganggap sesat mereka adalah suatu tindakan yang benar. 

"Para fuqoha’ mendapat pahala dari Allah s.w.t. dalam menganggap sesat golongan tersebut, dan para arif biLLah dan kaum sufi juga bersama mereka dalam menghukum sesat golongan tersebut, tanpa perselisihan lagi." 
  
            Imam As-Suyuti r.a. sendiri menulis dua pasal dalam menolak kesesatan hulul dan ittihad dalam kitab beliau, Ta'yiid Al-Haqiqah Al-'Aliyah.

            Beliau berkata dalam bab fil Ittihad:

            "Seorang makhluk pun tidak ada yang dapat bergabung atau bersatu dengan dzat makhluk yang lain, bagaimana dia mampu bersatu dengan dzat Allah s.w.t.? Ini suatu kemustahilan dan kesesatan yang nyata!" 

            Syekh Musthafa Al-Bakri juga berkata dalam risalah beliau Al-Maurid Al-Azb:

            "Ketahuilah bahwa telah lahir suatu golongan yang mengaku diri mereka sebagai ahli makrifat, namun mereka adalah golongan yang sesat, takkala mereka mengaku, wujud mereka yang baru, berukuran dan terbatas itu, merupakan hakikat wujudnya Allah s.w.t. itu sendiri yang qadim. Mereka juga mengaku bahwa, dzat mereka yang baru pada hakikatnya adalah dzat Allah s.w.t. yang qadim. Tujuan mereka menetapkan demikian adalah untuk menggugurkan ketetapan hukum syari’at atas diri mereka, dan menolak taklif dari diri mereka, maka merekalah yang wajib dihukum keluar dari agama (murtad) atas diri mereka. Merekalah golongan athies yang durjana. Mereka sesat lagi menyesatkan, karena mengingkari penciptaan Allah s.w.t. atas diri mereka yang baru, yang jelas menurut syara, dan menolak syariat Islam itu sendiri. 
  
            "Ini suatu perkataan yang tidak pernah diucapkan oleh sembarang orang bodoh, apalagi diucapkan oleh orang alim maupun orang arif….Demi Allah, hendaklah kamu jauhi mereka…" 

Wahdatul-Wujud Tidak Menafikan Syariat

            Penghayatan wahdatul-wujud dengan makna  yang benar oleh kaum sufi tidak membuat para sufi kemudian tergelincir dalam klaim bahwa, syariat tidak lagi perlu dilaksanakan. Ini suatu kesesatan yang nyata.

            Wahdatul-wujud justru dihayati dalam melaksanakan tanggungjawab yang murni, sebagai seorang hamba kepada Allah s.w.t., dengan merasakan dan mengakui ke-wujud-an diri sebagai hamba Allah s.w.t, sementara pada saat yang sama menyaksikan bahwa, ke-wujud-an dirinya yang baru, dari kekuasaan Allah s.w.t., sehingga dari itu lahir rasa syukur kepada Allah s.w.t. yang telah menciptakannya dan telah menggerakkannya dalam ketaatan kepadaNya.

            Imam An-Nablusi r.a. berkata dalam Khamratul Khan:

            "Orang yang sempurna adalah orang yang menyadari dua bagian wujud. Dia menyaksikan secara terus menerus, akan ke-wujud-an Allah s.w.t. yang azali dan abadi, yang berdiri (berkuasa) dengan dzatNya sendiri, lalu mengagungkan ketuhananNya, dalam saat yang sama menyaksikan ke-wujud-an diri yang baru, yang berdiri dengan (kekuasaan) Allah s.w.t. lalu menunaikan tanggungjawab kehambaan kepadaNya." 

            Jadi, jika seseorang memahami wahdatul-wujud dengan makna wahdatus-syuhud, yaitu seseorang menyaksikan bahwa dirinya wujud dengan kekuasaan Allah s.w.t., pasti tidak akan meninggalkan syariat, sebaliknya melaksanakan syariat dan pada saat yang sama, bersyukur kepada Allah s.w.t. karena mengizinkannya untuk mengamalkan syariatNya. Hal ini seterusnya menghindarkan rasa ujub dalam diri seseorang tersebut.

            Seseorang yang mengaku menghayati wahdatul-wujud tetapi meninggalkan syariat, ketahuilah bahwa dia telah tersesat dalam memahami wahdatul-wujud tersebut dengan pemahaman yang benar, dan telah berdusta dalam pengakuannya.


Wahdatul-Wujud Tidak Menafikan Wujud Makhluk yang Baru

            Banyak orang yang menuduh sesat pemahaman wahdatul-wujud ini karena ketidak tahuan, mereka menyatakan bahwa, wahdatul-wujud menafikan ithnaniyat al-wujud (dua jenis ke-wujud-an yaitu ke-wujud-an Allah s.w.t. yang qadim dan ke-wujud-an makhluk yang baru).

            Sebenarnya, wahdatul-wujud menurut kaum sufi tidak pernah menafikan dua jenis ke-wujud-an, yaitu: wujud qadim (ke-wujud-an Allah s.w.t.) dan wujud baru, yaitu ke-wujud-an makhluk. Namun, wahdatul-wujud menegaskan bahwa, ke-wujud-an makhluk yang baru tersebut merupakan kesan (atsar) yang terlahir dari  ke-wujud-an Allah s.w.t juga karena wujud makhluk tersebut bukanlah dengan diri mereka sendiri dan bukan pula dari diri mereka sendiri. Namun, wujud makhluk yang terbatas dan baru bukanlah wujud Allah s.w.t. yang qadim, cuma ke-wujud-an mereka dari  ke-wujud-an Allah swt dan penciptaanNya. Ke-wujud-an makhluk tidak mutlak, tidak mustaqil (mandiri) dan makhluk tidak berdiri dengan diri mereka sendiri, sebaliknya bersandar kepada kekuasaan Allah s.w.t..

            Hal ini samalah seperti kekuasaan makhluk, di mana, kekuasaan makhluk yang terbatas dari kekuasaan Allah swt juga, tetapi kekuasaan makhluk bukanlah seperti kekuasaan Allah s.w.t. Begitu juga sifat-sifat yang lain.

            Dua jenis ke-wujud-an tidak pernah menafikan bahwa, wujud yang baru itu pada hakikatnya dari wujud Allah s.w.t yang qadim, tetapi bukanlah wujud yang baru itu, adalah wujud yang qadim secara dzatnya. Kalau bukan dari Allah s.w.t., maka dari siapa lagi wujud yang baru itu? Mustahil dari dzat-dzat makhluk itu sendiri karena para makhluk tidak berdiri dengan diri mereka sendiri.

Wahdatul-Wujud Tidak Membawa Kepada pemahaman Jabbariyah

            Jabbariyah adalah suatu pemahaman yang menafikan secara mutlak, usaha bagi makhluk, sehingga akhirnya menyeret seseorang kepada meninggalkan amalan perintah Allah. Ada orang yang mengatakan bahwa, wahdatul-wujud membawa seseorang kepada pemahaman  Jabbariah (seperti yang dikatakan  juga oleh Abdulfatah Haron -hadahuLLah- dalam kitab sanggahan beliau ), padahal tidak demikian.

            Dalam aqidah ahlus-sunnah wal-jamaah, manusia juga diberi peluang untuk berusaha, sesuai dengan izin Allah s.w.t, bukan seperti pemahaman jabbariyah yang menafikan usaha secara mutlak. Golongan sufi yang berkata tentang wahdatul-wujud juga menetapkan usaha kepada makhluk, seperti aqidah ahlus-sunnah wal-jamaah.

            Begitu juga dalam penghayatan wahdatul-wujud, di mana seseorang hamba dalam keadaan melihat dirinya ada ruang untuk berusaha, namun pada saat yang sama, melihat ruang untuk berusaha tersebut merupakan anugerah dari Allah s.w.t. Lalu, mereka sibuk (istighol) melihat pertolongan Allah s.w.t dalam ketaatan mereka, tanpa menisbahkan ketaatan tersebut kepada diri mereka, dalam rangka menjauhi ujub dan takabbur, disaat yang sama, menjalankan syukur kepadaNya.

            Imam Al-Qunawi r.a. berkata (seperti yang dinukilkan oleh Imam As-Suyuti dalam Ta'yiid al-Haqiqah al-'Aliyah:

"Maksud pernyataan para sufi, tidak melihat amal pada diri sendiri, yaitu, tidak menisbatkan bahwa usaha ketaatan tersebut dari diri mereka, karena sibuk dalam menyaksikan bahwa ketaatan tersebut merupakan anugerah dari Allah s.w.t. kepada mereka." 
  
            Mereka menisbahkan seluruh kebaikan kepada Allah s.w.t. dalam ruang lingkup penghayatan wahdatus-syuhud dan menisbahkan keburukan kepada diri mereka melalui penghayatan ubudiyyah dalam diri mereka. Inilah aqidah ahlus-sunnah wal jamaah. 
  
Kesimpulan:

            Maka, jelaslah bahwa, pemahaman yang benar tentang wahdatul-wujud menurut kaum sufi adalah suatu pemahaman yang murni dan sesuai dengan aqidah Islam yaitu, melihat seluruh wujud (keberadaan) makhluk, tidak wujud dengan diri mereka sendiri, tetapi wujud dengan Allah s.w.t. (dengan pertolongan dan kekuasaanNya).

            Adapun orang-orang yang jahil yang menganggap sesat kaum sufi dalam masalah ini, sebenarnya tidak memahami wahdatul-wujud dengan makna yang sebenarnya menurut pandangan kaum sufi.

            Begitu juga, golongan orang-orang yang sesat dalam pemahaman wahdatul-wujud dengan mendakwa ketuhanan pada diri, mengaku hulul dan ittihad (pantheisme), merupakan golongan yang tertolak di sisi kaum sufi itu sendiri. Pemahaman mereka bukanlah pemahaman kaum sufi terhadap wahdatul-wujud sebagaimana  kaum sufi memahaminya dengan makna wahdatus-syuhud, bukan dengan makna hulul dan ittihad.

Dalam masalah wahdatul-wujud, orang yang sesat hanyalah orang yang ingin memahaminya dengan makna falsafah, bukan dengan makna penghayatan kaum sufi itu sendiri.

Maraji’:

  • Al-Qur'an Al-Karim
  • Tafsir Al-Baidhowi
  • Tafsir Ar-Razi
  • Tafsir Pimpinan Ar-Rahman
  • Kitab-kitab Hadits (terutama Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim)
  • Al-Washoya oleh Imam Ibn 'Arabi r.a.
  • Al-Futuhat oleh Imam Ibn 'Arabi r.a.
  • Ihya' Ulumiddin oleh Imam Al-Ghazali r.a.
  • Lafo'iful Minan oleh Imam As-Sakandari r.a.
  • Ta'yiid Al-Haqiqah Al-'Aliyah oleh Imam As-Suyuti r.a.
  • Syarah Hikam Ibn Roslan oleh Imam Zakaria Al-Ansari r.a.
  • Syarah Al-Muhazzab oleh Imam An-Nawawi r.a.
  • Idhohul Maqsud fi ma'na wahdatul-wujud oleh Imam An-Nablusi r.a.
  • Khomrotul Khan oleh Imam An-Nablusi r.a.
  • Al-Maurid Al-Azb oleh Sheikh Mustofa Al-Bakri r.a.
  • Muqoddimah buku Anwar An-Nabi s.a.w. oleh Sheikh Ahmad Farid Al-Mazidi
  • Tahdzib Syarah Al-Aqidah At-Tohawiyah oleh Dr. Umar Abdullah Kamil
  • Tahdzib Syarah As-Sanusiyah oleh Sheikh Sa'id Fudah
  •  Ahmad Mukhlis Ar-Razi
  •  Dan lain-lain.

 Tasybih dan Tanzih

Permasalahan Tasybih dan Tanzih juga merupakan polemik dari dahulu hingga sekarang. Dalam hal ini Ibn Arabi berpendapat bahwa dalam mengenal Allah manusia harus melihat TanzihNya (Kesucian Allah dari segala sifat yang baru) pada TasybihNya (KeserupaanNya dengan yang baru) dan tasybihNya pada tanzihNya. Artinya untuk mengenal Allah harus menggabungkan dua aspek tadi sekaligus. Ibn Arabi sering mengutip perkataan Abu Sa’id Al-Kharraj: “ Aku mengenal Allah dengan menggabungkan dua hal yang bertentangan.” Menurutnya apabila seseorang mengenal Allah hanya dengan aspek tanzih berarti dia telah membatasi kemutlakanNya. Karena tanzih berarti menafikan segala sifat bagi Allah seperti yang dilakukan oleh kalangan Mu’tazilah yang melucuti Tuhan dari segala sifat, hingga Allah menjadi suatu yang tak bisa dikenal dan dijangkau. Hal ini mengakibatkan terputusnya hubungan Tuhan dengan manusia. Kemudian jika hanya mengenal Allah dalam aspek tasybih saja seperti yang dilakukan kalangan al_mujassimah maka mengakibatkan keserupaan Tuhan dengan yang baru.


Wallahu a'lam...
Kebenaran hanya milik Allah swt, jika anda mendapati kebenaran pada tulisan ini, semata-mata hanya anugerah dari Allah swt, namun jika terdapat kesalahan itu karena kebodohan saya (penulis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar